Kanal

Fadli Zon Ingatkan Bangsa Indonesia Tetap Bersatu dalam Pluralisme

JAKARTA - riautribune : Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia pada 28 Oktober, 89 tahun silam, dimaksudkan untuk menyerukan bersatunya para pemuda kala itu dari berbagai perbedaan.

Perbedaan itu mulai perbedaan daerah, suku, ras, bahkan golongan. Mereka bersatu menggelorakan semangat satu, yakni meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan para penjajah.

Segala perbedaan itupun disatukan dengan sebuah ikrar berisikan mengakui bertumpah darah satu, tanah Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia;‎ serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia. Itulah upaya besar yang dilakukan para pemuda untuk bersatu memerdekan Indonesia.

Indonesia yang sangat luas, sudah tentu memiliki berbagai ragam perbedaan mulai dari suku, ras, golongan hingga ragamnya budaya dari Sabang sampai Merauke.

Semangat pluralisme, menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, telah lama ada di Indonesia. Semangat ini telah lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka pada Agustus 1945.

Bersatunya para pemuda dari berbagai daerah, suku, agama, ras, dan golongan. Mereka bersatu untuk menuju satu tujuan. Seharusnya, menurut Fadli semangat pluralisme inilah yang harus dimiliki bangsa Indonesia saat ini.

"Dan saya kira sejak Sumpah Pemuda itu kita sudah tidak lagi dikotak-kotakan dengan suku, agama, ras, golongan karena kita memang di Indonesia ini dasarnya berbeda-beda, sudah plural tak perlu diajarin lagi pluralisme," ujar Fadli Zon saat berbincang dengan Okezone.

Merawat semangat Sumpah Pemuda yakni semangat mempersatukan bangsa Indonesia dari berbagai perbedaan, harus terus diwujudkan bangsa ini, terutama para pemudanya.

Namun begitu, Fadli menilai faktor pemimpin bangsa ini menjadi faktor penting bagaimana pluralisme yang ada dalam semangat Sumpah Pemuda tetap terjaga.

Pemimpin Indonesia, menurut Fadli harus mengerti sejarah, punya visi dan jiwa kepemimpinan yang kuat untuk bisa merawat kebersamaan dan pluralisme yang telah dilahirkan para leluhur, 89 tahun silam. Tak sekadar retorika, namun harus memiliki kekuatan untuk terus mewujudkan adanya persatuan dan kesatuan di tengah ciri khas bangsa ini yang memiliki banyak keragaman.

"Pemimpin itu harus bisa menjiwai kebersamaan, kebersatuan perbedaan ini. Di tangan pemimpin yang lemah perbedaan itu jadi ancaman. Jadi ya selalu akhirnya pakai retorika-retorika kuno. Kalau di tangan pemimpin yang kuat perbedaan itu jadi satu kekuatan," pungkasnya.(okz)

 

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER