Kanal

Bola panas polemik gedung baru DPR dilempar ke pemerintah

JAKARTA - riautribune : Dalam pagu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat alokasi belanja Rp 5,7 triliun. Di dalamnya tidak hanya untuk gaji anggota DPR saja, tapi juga ada alokasi untuk pembangunan gedung baru bagi para legislator dan pembangunan alun-alun demokrasi.

Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing mengungkapkan, untuk pembangunan gedung baru DPR membutuhkan anggaran sebesar Rp 320,44 miliar. Sedangkan untuk pembangunan alun-alun demokrasi dibutuhkan anggaran sebesar Rp 280 miliar. Sehingga jika ditotal, anggaran yang dibutuhkan untuk kedua proyek itu mencapai Rp 601 miliar.

Kepala Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing bersama dengan Sekjen DPR Achmad Djuned membandingkan kondisi gedung DPR saat ini dengan gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi, dan gedung DPR negara lain. Anton terkesima dan ingin menerapkan di DPR terkait pengamanan di BPK yang menggunakan akses khusus. Dia juga membandingkan fasilitas gedung MK yang ruangannya lengkap, terdapat ruang tamu, bahkan ruang untuk istirahat para hakim MK. Di MK, satu lantai untuk 3 hakim dengan luas kira-kira 300 meter.

Bahkan dirinya juga membandingkan gedung DPR negara lain yang memiliki pengaman yang super ketat. Ini sangat berbeda dengan yang ada di DPR saat ini semua orang bisa masuk dan keluar dengan mudah.

"Dan inilah yang saya alami kalau keluar negeri saya mengunjungi kantor DPR. Walaupun itu kantor DPR Bangladesh yang masih jauh ketimbang kita 3 kali di screening untuk bisa masuk ke ruangan anggota DPR atau ke kompleks DPR. Kalau di kita kan boleh sebebas-bebasnya Ini pertama dari BPK," jelasnya usai melakukan kunjungan, Jumat (18/8).

Sekjen DPR Achmad Djuned menyebut pembangunan gedung baru DPR adalah proyek prioritas di tahun 2018. Hal ini melihat kondisi gedung DPR saat ini yang dinilai tidak layak digunakan. Beberapa kondisi infrastruktur gedung tersebut dapat membahayakan para anggota DPR dan pegawai yang berkerja atau melakukan aktivitas.

Pembangunan gedung baru ini menuai pro kontra. Sejumlah fraksi menilai pembangunan gedung baru tidak prioritas. Fraksi Gerindra, Demokrat, meminta rencana itu dipikirkan ulang. Sedangkan PKS tegas menolak. Presiden PKS Sohibul Iman menuturkan, membangun gedung DPR bukan prioritas untuk saat ini.

"Kondisi keuangan kita sedang ya anggota DPR kan paling tahu sekarang, defisit anggaran ya kan. Terus juga situasi yang ekonomi sedang tidak memungkinkan. Jadi kami minta ditunda lah sampai kapan," ujar Sohibul.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo mengusulkan agar DPR memaksimalkan gedung yang sudah ada tapi dengan berbagai perbaikan. Menurutnya, banyak ruangan di gedung DPR sekarang yang bisa dimanfaatkan. "Saya rasa gedung DPR MPR harus dimaksimalkan," kata Roy.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti termasuk yang mengkritisi keras rencana DPR membangun gedung baru dan apartemen. Dia mengatakan, lebih baik anggota DPR fokus membenahi kinerja yang dinilainya sudah semakin merosot.

"Mereka sebenarnya maunya apa, dulu mau gedung, sekarang mau apartemen, nanti mau kolam renang. Itu semua cita-cita yang mungkin banyak di-iya-kan kalau berbanding lurus dengan kepuasaan publik. Nah sekarang kepuasaan publik di titik paling nadir," katanya.

"Termasuk prolegnas, attitude, dan lain-lain. Jadi saya pikir rakyat susah untuk mengerti selama mereka tidak melihat manfaat gedung atau apartemen," tambah Ray.

Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut berkomentar. Dia mengingatkan para legislator bahwa saat ini masih dalam rangka pemberhentian sementara pembangunan gedung baru institusi pemerintah.

"Sementara ini pemerintah memutuskan masih moratorium pembangunan gedung-gedung baru, terkecuali sekolah, rumah sakit dan balai penelitian," kata Jusuf Kalla di Kantor Wapres di Jakarta, Selasa (15/8).

Setelah mendapat sorotan tajam dan disentil Wapres JK, bola panas pembangunan gedung DPR dilempar ke pemerintah. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyerahkan keputusan pembangunan gedung baru DPR kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

"Kami itu sederhana saja, semua kami serahkan ke eksekutif. Karena bagaimanapun kan yang namanya uang di kantong eksekutif, bendahara itu kan tidak ada di DPR," kara Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/8).

Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, DPR tidak bisa membuat keputusan sepihak. Segala keputusan termasuk soal anggaran pembangunan Gedung DPR harus mendapat persetujuan pemerintah.

"Kalau di kita kan tidak ada sistem jatah. Kalau di negara yang sistem jatah ya kita boleh mengambil sikap sendiri, tapi ini pada akhirnya kan pemerintah setuju atau tidak," terangnya.

Fahri hanya bisa pasrah jika pemerintah akhirnya menganggap pembangunan gedung baru DPR belum diperlukan saat ini. Dia mengklaim rencana pembangunan gedung merupakan suara bulat anggota parlemen yang menilai perlu ada perbaikan fasilitas gedung anggota dewan.

"Jadi ini semua terserah kepada pemerintah, terutama kepada presiden dan wapres. Kita hanya menyampaikan pandangan dan kesimpulan yang diputuskan secara aklamasi dalam paripurna itu saja," tutupnya.(mrdk)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER