Kanal

Mendagri Persilakan DPR Lobi MK Untuk Melarang Politik Dinasti

JAKARTA - riautribune : Setiap warga negara memiliki hak politik yang sama untuk menjadi kepala daerah. Sehingga tak relevan bila hubungan kekeluargaan menjadi halangan hak seseorang untuk berpolitik.

Demikian disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo terkait aspirasi larangan politik dinasti. Isu ini mencuat kembali pasca penangkapan Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK.

Korupsi yang membelit Bupati Klaten ini dinilai banyak kalangan semakin memperkuat keyakinan bahwa politik dinasti memang sarat dengan tindakan koruptif. "Empat indikator (korupsi). Salah satunya kan masalah itu (politik dinasti). Kebetulan yang kena OTT politik dinasti semua," jelasnya (Rabu, 4/1).

Diakui Tjahjo, sebenarnya pemerintah bersama DPR RI sudah mendesain sistem politik yang lebih terbuka dengan melarang pola politik dinasti. "Sudah kita larang (politik dinasti). Oleh MK memperbolehkan," terangnya.

Tjahjo sendiri mempersilahkan DPR melakukan lobi-lobi dengan MK,  jika politik dinasti ini memang dianggap rawan penyelewengan.  "Ya silahkan DPR lobi ke MK, kalau dianggap politik dinasti, kepala daerah terindikasi terjadi penyelewengan. Kalo kami gak mungkin lobi ke MK," jelas Tjahjo. Diketahui, sebelum dibatalkan MK, larangan politik dinasti ini diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.

Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan, Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Penjelasan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" dalam UU tersebut adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Penyidik KPK menangkap tangan Sri Hartini karena kasus dugaan menerima suap mutasi dan promosi di lingkungan pemerintah kabupaten Klaten, Jateng, (Jumat, 30/12). Selain itu,  KPK juga mengamankan Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten Suramlan yang diduga berperan sebagai pemberi suap.

Dari rumah dinas Sri Hartini, KPK mengamankan uang sekitar Rp 2 miliar dan pecahan mata uang asing US$ 5.700 dan SGD 2.035, selain juga catatan penerimaan uang.

Sebelum menjadi Bupati Klaten, Sri Hartini adalah Wakil Bupati Klaten 2010 - 2015 berpasangan dengan Bupati Sunarna. Sunarna yang menjabat bupati dua periode (2005 - 2015) adalah suami Sri Mulyani.

Sri Hartini sendiri adalah istri Haryanto Wibowo yang menjadi Bupati Klaten periode 2000 - 2005. Haryanto juga pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 miliar dan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk perjalanan ke luar negeri. Namun penanganan kasus tersebut diberhentikan karena Haryanto meninggal dunia.(rmol)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER