Kanal

DPR Terbelah Sikapi Perppu UU KPK

JAKARTA -- riautribune : Fraksi-fraksi di DPR RI menanggapi beragam wacana penerbitan peraturan presiden pengganti undang-undang (perppu) yang dinilai dapat membatalkan sejumlah poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sebagian fraksi  menyatakan mendukung rencana itu, sedangkan lainnya menilai penerbitan perppu akan mendelegetimasi DPR.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo yang berasal dari Fraksi Golkar menyatakan bahwa lembaganya mendukung segala keputusan pemerintah. "Kita akan mendukung apa pun yang menjadi keputusan pemerintah sesuai dengam koridor hukum yang ada," ujar Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (27/9).

 

Bamsoet menjelaskan, seluruh fraksi di DPR memiliki berbagai pertimbangan jika Perppu UU KPK diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, menurut dia, pembahasan revisi undang-undang tersebut telah melewati mekanisme yang sesuai.

 

"Setiap hal yang terjadi pasti para menteri telah membicarakannya kepada pihak terkait, mitra-mitranya di parlemen," kata Bambang.

 

Namun, jika penerbitan perppu terealisasi, ia menyerahkan keputusan kepada anggota DPR periode 2019-2024. Sebab, masa bakti anggota dewan saat ini akan berakhir pada Senin (30/9) mendatang. "Ini sangat relevan kalau ditanyakan pada periode yang akan datang karena perppu itu sekarang sudah Jumat, Senin penutupan sidang, sekaligus perpisahan," ujar dia.

 

Ia juga menambahkan, pada Senin mendatang DPR tak akan mengesahan RUU. "Saya pastikan pada hari Senin tidak ada lagi RUU yang diambil keputusannya di paripurna. Karena, paripurna hari itu paripurna penutupan masa sidang," kata dia.

 

Revisi UU KPK disahkan DPR pada 17 September lalu. Rencana revisi UU KPK sedianya sudah diwacanakan sejak 2010. Kendati demikian, karena isinya selalu dianggap bisa melemahkan KPK, rencana itu selalu ditunda. Kali ini, revisi kembali diusulkan Fraksi PDI Perjuangan, PPP, PKB, Golkar, dan Nasdem pada 3 September lalu. Kendati tetap mendapat tentangan dari KPK, pegiat antikorupsi, dan berbagai elemen masyarakat, DPR secara kilat tetap meloloskan usulan itu hingga disahkan dua pekan kemudian.

 

Belakangan, sejumlah pihak berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait revisi tersebut. Meski sebelumnya tak berniat mengeluarkan perppu untuk menyangkal regulasi itu, Presiden Jokowi akhirnya membuka kemungkinan tersebut pada Kamis (26/9). Hal itu disampaikan Jokowi setelah mendapatkan masukan dari berbagai tokoh bangsa yang hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9). Keputusan penerbitan perppu itu menurutnya akan segera disampaikan dalam waktu singkat.

 

Sejauh ini, tentangan terhadap rencana penerbitan perppu itu justru datang dari PDIP, partai asal Jokowi. Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto mengatakan, tindakan penerbitan perppu oleh Presiden bisa dianggap tidak menghormati DPR. “Nggak menghormati kita bersama yang sudah membahas, Presiden dengan DPR. Nanti one day didemo lagi ganti lagi, demo lagi ganti lagi, susah," kata Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (27/9).

 

Ia berpendapat, jika ada yang tidak setuju dengan undang-undang tertentu, masyarakat bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati demikian, ia tetap mempersilakan apa pun langkah yang diambil Presiden. \"Silakan Presiden punya pertimbangan sendiri, ngomong dengan pembantunya sendiri. Kami anggota DPR punya otoritas sendiri," ujarnya.

 

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menjelaskan, perppu tak dapat membatalkan UU KPK. Namun, perppu tersebut dinilainya dapat merevisi dua pasal yang dinilai banyak pihak melemahkan KPK.

 

Pertama, Pasal 37 B Ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa “Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan”. Arsul menjelaskan, revisi pasal tersebut dapat berupa penyidik KPK cukup memberi tahu Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.

 

“Tetapi, setelah dilaksanakan harus dipertanggung jawabkan ke dewan pengawas," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan.

 

Kedua, pasal 21 yang di dalamnya menjelaskan bahwa pimpinan KPK berstatus sebagai pejabat negara sehingga mereka tak dapat menjadi penyidik dan penuntut umum lagi. "Itu tidak melemahkan, tidak menguatkan, kenapa, karena pimpinan KPK penentu kebijakan. Dia pengendali operasional pemberantasan korupsi, baik penindakan maupun pencegahan," ujar Arsul.

 

Dari oposisi, Fadli Zon yang berasal dari Fraksi Gerindra menilai tekad Jokowi belum benar-benar bulat mengeluarkan perppu. “Ngomongnya kan baru mempertimbangkan. Kita lihat nanti hasilnya seperti apa," ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (27/9).

 

Fadli menilai, sikap Jokowi yang akan mempertimbangkan perppu adalah sikap wajar. Terlebih lagi, penerbitan perppu menjadi aspirasi mahasiswa yang melakukan demonstrasi belakangan.

 

Wakil ketua umum Partai Gerindra itu mengatakan, saat ini Presiden lebih memiliki kuasa atas KPK. Proses di DPR telah selesai dengan disahkannya revisi UU KPK meski diwarnai dengan pro dan kontra. "Tapi itu (perppu) kan hak Presiden dan menurut saya, itu bagian dari dialog dan masukan dari masyarakat. Itu sah-sah saja. Aspirasi masyarakat dan mahasiswa harus didengar," kata Fadli Zon.

 

Pihak istana kepresidenan menegaskan sudah siap dengan segala keputusan Presiden Jokowi terkait terbukanya opsi penerbitan Perppu Revisi UU KPK. "Kita antisipasi apa pun keputusan Presiden dalam waktu beberapa hari ke depan. Pokoknya tugasnya staf menyiapkan segala sesuatu yang akan diputuskan pimpinan," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Jumat (27/9). (rep)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER