Kanal

Fenomena Pindahnya Politisi Jelang Pileg

Pekanbaru-riautribune: Fenomena anggota DPR petahana yang pindah partai jelang pemilu bukan hanya dilakukan oleh Hillary saja. Nama-nama lain sudah melakukan langkah serupa, pindah partai saat masa verifikasi DCS di KPU. Salah satu nama yang pindah partai di masa pendaftaran caleg di KPU adalah Dedi Mulyadi. Dia pindah dari Partai Golkar ke Gerindra saat masih aktif menjadi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI. Kasus ini tidak hanya terjadi di DPR RI, tapi juga DPRD. Misalnya, Hanum Salsabiela Rais sebagai anggota DPRD DIY. Ia pindah dari PAN ke Partai Ummat pada Pemilu 2024. 

    Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut, ada sejumlah penyebab yang membuat seseorang mau pindah partai. Bahkan, di saat masih aktif di kursi DPR RI. “Penyebab pertama karena ada konflik internal partai, misalnya dulu itu terjadi ketika ada konflik dualisme di Hanura. Atau PPP, di pemilu sebelumnya, sehingga caleg-caleg tidak mendapat kepastian apakah bisa dicalonkan atau tidak, sehingga dia pindah ke partai yang memberikan kepastian,” kata Arya saat dihubungi pada Rabu (23/8/2023). Penyebab kedua, kata dia, karena caleg ingin mencari suara yang lebih tinggi. Atau berusaha mencari kepastian dengan mencari partai yang dapat dipastikan lolos ke parlemen. 

   “Motivasi lain karena survival, itu misalnya terjadi kepada partai-partai kecil yang kalau dia tetap bertahan tidak lolos parliamentary threshold, sehingga dia pindah ke partai lain. Itu terjadi seperti di PSI. Beberapa kader PSI pindah ke partai yang lebih berpeluang lolos parliamentary threshold,” kata dia. 

   Nomor urut atau dapil yang berpindah juga menjadi salah satu penyebab banyaknya caleg pindah partai. Padahal, nomor urut di surat suara dan penentuan dapil juga ikut menjadi hal penting dalam proses kemenangan seorang caleg menuju DPR. “Akibat kompetisi internal, caleg incumbent tidak ditaruh di dapil strategis. Atau dia nomor urut 1 kemudian pindah di nomor urut 4 dan pindah ke partai lain yang menjanjikan. Tetap maju ke dapil yang sama atau karena nomor urut lebih kecil," ujarnya. 

    Dari banyaknya alasan politikus pindah partai, Arya tidak menemukan fenomena pindah partai karena urusan ideologi. Alasan pragmatisme politik paling rasional, saat keinginan politikus tidak bisa diwujudkan di partai.

   “Dari segi ideologi, karena umumnya enggak ada polanya. Seperti ada caleg dari nasionalis pindah ke partai agama atau sebaliknya. Kecenderungannya pindah ke partai yang ideologi sama. Misalnya ada caleg pindah dari PPP, kalau Brigitta pindah dari Nasdem ke Demokrat," terangnya.

    Hal serupa disampaikan oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Dia menyebut politikus memperhitungkan partai politik semata pada untung rugi dan tidak ada faktor ideologi di dalamnya. “Pindah partai karena di partai sebelumnya tidak menguntungkan. Di partai baru dinilai lebih menguntungkan," ungkapnya. Dalam temuannya, Adi menyebut banyak politikus pindah partai karena tidak dicalonkan dalam proses pemilu oleh partainya. Sehingga wajar bila politikus pindah partai dengan membawa suara yang pernah diperoleh dalam pemilu sebelumnya. “Yang paling penting adalah kesempatan menang, karena di partai lain memiliki kesempatan untuk menang. Sehingga ini adalah alasan kenapa seseorang untuk pindah partai,” jelasnya.(tirto)

. Salah satu nama yang pindah partai di masa pendaftaran caleg di KPU adalah Dedi Mulyadi. Dia pindah dari Partai Golkar ke Gerindra saat masih aktif menjadi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI. Kasus ini tidak hanya terjadi di DPR RI, tapi juga DPRD. Misalnya, Hanum Salsabiela Rais sebagai anggota DPRD DIY. Ia pindah dari PAN ke Partai Ummat pada Pemilu 2024. 

    Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut, ada sejumlah penyebab yang membuat seseorang mau pindah partai. Bahkan, di saat masih aktif di kursi DPR RI. “Penyebab pertama karena ada konflik internal partai, misalnya dulu itu terjadi ketika ada konflik dualisme di Hanura. Atau PPP, di pemilu sebelumnya, sehingga caleg-caleg tidak mendapat kepastian apakah bisa dicalonkan atau tidak, sehingga dia pindah ke partai yang memberikan kepastian,” kata Arya saat dihubungi pada Rabu (23/8/2023). Penyebab kedua, kata dia, karena caleg ingin mencari suara yang lebih tinggi. Atau berusaha mencari kepastian dengan mencari partai yang dapat dipastikan lolos ke parlemen. 

   “Motivasi lain karena survival, itu misalnya terjadi kepada partai-partai kecil yang kalau dia tetap bertahan tidak lolos parliamentary threshold, sehingga dia pindah ke partai lain. Itu terjadi seperti di PSI. Beberapa kader PSI pindah ke partai yang lebih berpeluang lolos parliamentary threshold,” kata dia. 

   Nomor urut atau dapil yang berpindah juga menjadi salah satu penyebab banyaknya caleg pindah partai. Padahal, nomor urut di surat suara dan penentuan dapil juga ikut menjadi hal penting dalam proses kemenangan seorang caleg menuju DPR. “Akibat kompetisi internal, caleg incumbent tidak ditaruh di dapil strategis. Atau dia nomor urut 1 kemudian pindah di nomor urut 4 dan pindah ke partai lain yang menjanjikan. Tetap maju ke dapil yang sama atau karena nomor urut lebih kecil," ujarnya. 

    Dari banyaknya alasan politikus pindah partai, Arya tidak menemukan fenomena pindah partai karena urusan ideologi. Alasan pragmatisme politik paling rasional, saat keinginan politikus tidak bisa diwujudkan di partai.

   “Dari segi ideologi, karena umumnya enggak ada polanya. Seperti ada caleg dari nasionalis pindah ke partai agama atau sebaliknya. Kecenderungannya pindah ke partai yang ideologi sama. Misalnya ada caleg pindah dari PPP, kalau Brigitta pindah dari Nasdem ke Demokrat," terangnya.

    Hal serupa disampaikan oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Dia menyebut politikus memperhitungkan partai politik semata pada untung rugi dan tidak ada faktor ideologi di dalamnya. “Pindah partai karena di partai sebelumnya tidak menguntungkan. Di partai baru dinilai lebih menguntungkan," ungkapnya. Dalam temuannya, Adi menyebut banyak politikus pindah partai karena tidak dicalonkan dalam proses pemilu oleh partainya. Sehingga wajar bila politikus pindah partai dengan membawa suara yang pernah diperoleh dalam pemilu sebelumnya. “Yang paling penting adalah kesempatan menang, karena di partai lain memiliki kesempatan untuk menang. Sehingga ini adalah alasan kenapa seseorang untuk pindah partai,” jelasnya.(tirto)

 

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER