pilihan +INDEKS
Potret Alam Indonesia tak Semanis Pidato Jokowi di COP26
JAKARTA, Riautribune.com - Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan para pemerhati lingkungan setelah menyampaikan pidato di KTT PBB soal perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Senin (1/11).
Dalam pidatonya berdurasi 4 menit, Jokowi membeberkan klaim capaian dan komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim.
Jokowi mengklaim Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi secara signifikan pada 2021, bahkan terendah dalam dua dekade terakhir.
Dihadapan pemimpin dunia, Jokowi mengklaim bahwa Indonesia berhasil menurunkan kebakaran hutan sebanyak 82 persen dan merehabilitasi 3 juta lahan kritis selama 2010-2019.
Namun sejumlah aktivis lingkungan menganggap pidato Jokowi itu "cuap-cuap" dan omong kosong belaka.
"Klaim Presiden Jokowi dalam pidato COP26 bisa dikatakan omong kosong," kata Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Asia Tenggara dalam jumpa pers virtual pada Selasa (2/11).
Dalam pidatonya, Jokowi mengklaim Indonesia terus berkontribusi menangani perubahan iklim. Ia mengatakan laju deforestasi turun signifikan pada 2021, terendah dalam 20 tahun terakhir.
Indonesia, kata Jokowi, juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010-2019. Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia kan mencapai karbon nett selambatnya tahun 2030.
"Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020. Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia," kata Jokowi.
Saat bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden di sela-sela KTT COP26, Jokowi bahkan berjanji akan merestorasi 600 ribu hektare hutan bakau Indonesia di sisa pemerintahannya.
Dalam Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan COP26, Indonesia dan 104 negara yang hadir sepakat menghentikan deforestasi dan mulai menjaga hutan.
Namun, Iqbal mengatakan klaim-klaim Jokowi tersebut kurang tepat.
"Agak lucu ya Jokowi mengklaim bahwa tahun 2021 terjadi penuruan kebakaran hutan sebanyak 82 persen. Itu adalah satu data yang dikutip secara tidak lengkap," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, kebakaran hutan di Indonesia memang tampak turun. Namun, hal itu bukan karena intervensi kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi hutan.
Iqbal memaparkan jika dibandingkan, angka kebakaran hutan pada 2020 mencapai 300 ribu hektare. Sementara itu, ia menuturkan pada 2017 kebakaran hutan justru bisa ditekan hingga 170 ribu hektare.
Dengan data itu, Iqbal menganggap angka deforestasi di Indonesia memang turun serta merta karena musim hujan, bukan intervensi kebijakan pemerintah soal kebakaran hutan.
"Indonesia tidak melakukan apa-apa terhadap penjagaan hutan. Buktinya, 2021 ini ada beberapa perusahaan yang masih membakar lahan terbuka mereka di beberapa titik seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat," papar Iqbal.
"Jadi Jokowi tidak bisa mengklaim berhasil menangani kebakaran hutan," katanya menambahkan.
Laju Deforestasi Rezim Jokowi Lebih Parah dari SBY
Berdasarkan data yang didapat Greenpeace, deforestasi di masa rezim Jokowi juga justru jauh lebih parah dibandingkan 10 tahun lalu.
Data itu berbeda dengan klaim Jokowi di COP26 yang mengatakan bahwa deforestasi Indonesia turun hingga level terendah dalam 20 tahun terakhir.
Iqbal mengatakan pada 2011-2016 deforestasi di Indonesia tercatat melahap hingga 4,8 juta hektare lahan. Sementara itu, sekitar 2003-2011 deforestasi Indonesia mencapai 2,45 juta hektare lahan.
"Artinya deforestasi di Indonesia selama ini tidak ditangani dengan baik. Bahkan dalam dokumen perencanaan long term strategy Indonesia masih ada kemungkinan deforestasi terjadi sebanyak 6 juta hektare," ucap Iqbal.
Selain soal deforestasi, Iqbal juga menyinggung pernyataan Jokowi soal rencana Indonesia beralih dari sektor energi tradisional ke energi baru terbarukan.
Dalam pidatonya, Jokowi memamerkan Indonesia tengah mulai membangun ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, hingga pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk bio fuel.
Indonesia, kata Jokowi, juga tengah berfokus pada pengembangan industri berbasis clean energi, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia yang berada di Kalimantan Utara.
Menurut Iqbal, kutipan pidato Jokowi itu justru menandakan bahwa Indonesia tidak akan beralih dari industri ekonomi ekstraktif yang berbasis lahan dan bahan bakar fosil.
"Ketika Jokowi bilang solusinya (energi baru terbarukan) adalah bio-fuel. Itu keliru ya. Jika kita hendak mencapai target bio-fuel itu berarti tetap dibutuhkan 9 juta hektare perkebunan sawit baru di indonesia," ucap Iqbal.
Sementara itu, perkebunan sawit kental dengan pembukaan lahan baru yang merusak perhutanan Indonesia.
Iqbal juga menyoroti pernyataan Jokowi soal pembangkit listrik ramah lingkungan. Klaim Jokowi itu bersebrangan dengan rencana Kementerian ESDM dan PLN yang tetap akan membangun 13,8 giga watt pembangkit listrik tenaga batu bara.
Kritik serupa juga dilontarkan Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).
Menurut Yuyun tidak ada hal baru yang diutarakan Jokowi dalam pidatonya di KTT COP26.
"Tidak ada sesuatu yang baru dalam pidato itu. Kita sering kali mendengar Jokowi menyampaikan klaim-klaim itu. Bahkan di forum G20 juga sama," kata Yuyun.
Sama seperti Iqbal, Yuyun juga menyinggung janji Jokowi yang menyebutkan bahwa Indonesia tengah membangun ekosistem mobil listrik sebagai salah satu jurus negara beralih dari energi kotor ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Namun, rencana itu kata Yuyun justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru jika tidak benar-benar dirumuskan proses transisinya.
Sebab, menurutnya, membangun ekosistem mobil listrik berbasis baterai memerlukan bahan dasar baru seperti nikel dan lithium untuk baterai.
Sementara itu, nikel dan lithium lagi-lagi berasal dari komoditas pertambangan.
"Ekosistem mobil listrik ini juga salah satu hal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan parah terutama di negara yang memiliki cadangan penting industri transportasi berbasis baterai," kata Yuyun.
"Sulawesi dan Papua lagi-lagi terancam jadi ladang penghancuran lingkungan baru karena di wilayah itu terdapat cadangan nikel jika kemudian pembangunan ekosistem mobil listrik ini tidak diterapkan dengan konsep transisi yang hati-hati dan betul," paparnya menambahkan.*
Berita Lainnya +INDEKS
Gelas Kertas Ramah Lingkungan dari Indonesia Dukung Ajang Lari Internasional Bergengsi The RunCzech
JAKARTA, Riautribune.com - Dalam upaya mendukung pengurangan sampah plastik baik secara nasional .
Dubes Iran Terima Kunjungan Pengurus JMSI Pusat
JAKARTA, Riautribune.com - Duta Besar (Dubes) Republik Islam Iran, Mohammad Boroujerdi menerima k.
HUT Ke-4 JMSI akan Berikan Penghargaan untuk Sejumlah Tokoh Nasional dan Daerah
JAKARTA, Riautribune.com — Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) akan memberikan penghargaan un.
MoU PWI Pusat- Universitas Mercu Buana Meningkatkan Literasi Digital dan Memerangi Hoax
JAKARTA, Riautribune.com - PWI Pusat dan Universitas Mercu Buana sepakat menjalin kerja.
KSP Sebut Pencabutan Label Halal Produk Perusahaan Pendukung Israel Tak Punya Dasar Hukum
JAKARTA, Riautribune.com - Kantor Staf Presiden (KSP) Joko Widodo merespons pernyataan Maje.
Merasa Bingung Soal Keputusan MK, Saldi Isra Malah Dilaporkan ke Majelis Kehormatan
JAKARTA, Riautribune.com - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra dilaporkan ke Majelis .