Kanal

Tradisi Ziarah Jelang Ramadan, Tabur Bunga hingga Bakar Kemenyan

JAKARTA, Riautribune.com - Berziarah ke makam keluarga atau leluhur menjadi salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Indonesia menjelang Ramadan atau setelah Idulfitri.

Sanak saudara yang masih hidup biasanya mengunjungi makam orang tua atau keluarga untuk berdoa, membersihkan makam, serta menabur bunga dan air doa. Tradisi ini telah dilakukan sejak lama dan masih lestari hingga saat ini.

Budayawan Jawa, Irfan Afifi mengatakan, semua daerah hampir pasti melakukan tradisi ziarah kubur. Kegiatannya pun hampir sama. Jika pun ada yang berbeda, hanya berkisar pada doa yang dipanjatkan atau apa saja yang dibawa saat nyekar.

"Di masyarakat Jawa, selain bunga, ada juga yang membawa kemenyan, dibakar di area pemakaman," kata Irfan, Kamis (24/3).

Kata Irfan, kemenyan ini dimaksudkan bukan untuk penyembahan atau pemujaan. Tugasnya hanya sebagai wewangian di area pemakaman. Selain kemenyan, biasanya juga ditabur air mawar yang sudah dirapal doa.

Doa ini biasanya sesuai dengan ajaran syariat Islam yang menggunakan bahasa Arab. Tapi, di beberapa daerah masyarakat menggunakan bahasa Jawa untuk merapal doa.

"Mungkin dianggapnya mantra, tapi sebenarnya doa. Hanya memang pakai bahasa ibu [suku Jawa], jadi terkesan seperti mantra. Padahal maksudnya sama doa kepada Allah," kata dia.

Bukan cuma keluarga, biasanya jelang Ramadan, pusara leluhur dan para wali juga ramai dikunjungi masyarakat. Mereka akan berdoa, mengirim sesajen, dan menyalakan kemenyan atau dupa sebagai bentuk penghormatan.

Kata Irfan, hal ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat di pedesaan dan meyakini jika mengunjungi makam wali atau leluhur selama satu bulan penuh puasanya akan diberi keberkahan.

"Karena mereka meyakini bahwa leluhur ini, kan, sakti, istilahnya meminta keberkahan dan kelancaran lewat ziarah ini," kata dia.
Sosiolog Universitas Indonesia, Ricardo mengatakan, berdoa dan meminta keberkahan kepada leluhur ini diyakini sebagai bentuk pencarian kebenaran masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap besar atau di luar nalar mereka.

Penjelasan Ilmiah Perbedaan Awal Ramadan Pemerintah-Muhammadiyah
Ritual nyekar ke makam leluhur sambil merapal mantra atau membakar kemenyan dipercaya sebagai bentuk penghormatan. Pasalnya, mereka yakin jika ini tidak dilakukan, maka akan muncul bencana selama Ramadan atau setelahnya.

"Jadi secara tidak langsung kalau tidak nyekar, mereka yakin puasanya tidak akan lancar, makanya mereka meminta izin atau restu ke keluarga yang telah meninggal atau leluhur yang dianggap suci," katanya melalui telepon.

Ritual-ritual nyekar ini memang bergantung pada tradisi yang berkembang di masing-masing komunitas masyarakat. Lagi pula, ritual ini, kata Ricardo, memang tidak dilakukan oleh umat Islam saja. Hindu dan Budha juga masih melakukan tradisi ini.

"Membakar kemenyan di Islam ada, tapi sebagian menganggapnya tidak lazim. Ini semua tergantung pada tradisi di dalam komunitas saja," kata dia.

Pada dimensi lain, menurut Ricardo, nyekar juga bermakna sebagai bentuk kepedulian manusia kepada orang tua, kerabat atau ulama dengan mendoakan mereka menjelang ibadah Ramadan.

"Ini sekaligus untuk berbakti dan memohon maaf atas kesalahan selama keluarga masih hidup dengan membersihkan makam dan berdoa di sisi makam," kata dia.

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER