Kanal

Kasus Pemerkosaan Anak Bawah Umur Berakhir Damai, LPSK Soroti Prosedur yang Diambil

PEKANBARU, Riautribune.com - Dicabutnya kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Pekanbaru, menarik perhatian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Mereka menyoroti pencabutan laporan dari orang tua AS, anak korban kekerasan seksual. Apalagi, setelah pencabutan laporan itu, penahanan terhadap tersangka AR langsung ditangguhkan dan hanya dikenakan wajib lapor dua kali seminggu.

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, mengatakan kejadian pencabutan laporan korban di Pekanbaru ini tentu melukai rasa keadilan publik yang melihat secara awam.

Hal tersebut membuat publik menduga bahwa keluarga pelaku yang merupakan anggota DPRD, menggunakan pengaruhnya menekan korban untuk berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku.

"Tidak bisa asal dihentikan. Polisi tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan alasan persetujuan perdamaian antara korban, keluarganya dan pelaku, mengingat perkosaan bukan hal yang biasa," terang Edwin pada Jumat (7/1/2022).

Menurutnya, meskipun pihak keluarga korban telah mencabut laporan, seharusnya pihak Kepolisian harus terus menjalankan proses hukum yang berlaku.

"Jadi, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut," ujar Edwin.

Edwin juga menambahkan, perlu dilakukan pemeriksaan kepada pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku.

"Harus diselidiki, apakah langkah mereka benar-benar menerapkan prosedur atau diduga terjadi pelanggaran," ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa apabila perdamaian tersebut dimaknakan sebagai upaya restorative justice, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, harus memiliki prinsip pembatasan.

"Misalnya, syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia," papar Edwin.

Namun bila sudah mencapai tindakan kriminalitas, harus ditindak sesuai dengan Surat Edaran Kapolri.

"Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud," terangnya.

Dalam situasi dimana penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimbulkan kontroversi, semakin menguatkan pentingnya UU Penghapuan Kekerasan Seksual.

Bahkan, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan pesan kuat agar segera dilakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Edwin dengan tegas mengatakan mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri, agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervsisi yang tepat.

Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan di tahun 2021 terdapat 482 Pemohon.

"Kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual, hendaknya menjadi perhatian dan keprihatian bersama," pungkasnya.

Selain angkanya yang tinggi dengan berbagai modus, perbuatan ini juga terjadi di ruang-ruang yang minim pengawasan. Misalnya, lingkup keluarga, tempat pendidikan dan ibadah. (Rey)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER