Kanal

Revisi UU KPK, "Menggaruk" di Bagian yang Tak Gatal

JAKARTA-riautribune: Isu pemberantasan korupsi tak pernah lepas dari perbincangan. Terakhir, isu ini kembali menghangat setelah DPR menggulirkan rencana revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sejumlah pasal yang akan direvisi dianggap melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Derasnya gelombang penolakan publik terhadap rencana revisi UU itu tidak luput dari perhatian Presiden Joko Widodo.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, akhir pekan ini, Jokowi akan segera membahas polemik revisi UU itu bersama pembantunya dan pihak terkait. Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, UU KPK perlu direvisi untuk penyempurnaan dan penguatan kelembagaan KPK.

Ia menilai, KPK perlu kewenangan menerbitkan SP3, dan memerlukan dewan pengawas yang salah satu kewenangannya memberikan izin penyadapan.

Mayoritas fraksi di DPR setuju UU KPK direvisi.
Sedangkan pemerintah menyatakan akan menarik dukungan jika poin revisi memuat upaya pelemahan KPK.

"Kita tidak ingin KPK kalah di praperadilan," kata Bambang, di Jakarta, Selasa (16/2/2016).

Argumentasi DPR mengenai perlunya UU KPK direvisi ditentang banyak kalangan. Empat poin yang menjadi subtansi revisi dianggap sebagai lagu lama yang diputar kembali.

Tidak terlihat upaya menguatkan KPK dalam usulan membentuk dewan pengawas, pengaturan penyadapan, penyidik independen, serta kewenangan menerbitkan SP3.

Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW) tidak sepakat dengan rencana dibentuknya dewan pengawas KPK.

Menurut dia, keberadaan dewan pengawas akan memunculkan dualisme kepemimpinan di lembaga antikorupsi tersebut.

Apalagi, jika dewan pengawas diberi kewenangan besar seperti memberikan izin penyadapan.

BW menilai, hal itu akan mengganggu independensi KPK dalam bekerja. Menurut BW, ada kecurigaan kuat jika revisi UU KPK ini dilakukan karena desakan politik.

Ia khawatir korupsi di sektor keuangan, jasa, dan infrastruktur tidak tertangani saat KPK terus digembosi, khususnya korupsi yang menggunakan teknologi canggih.

"Ini isu politik, ada kekuasaan yang tidak mau dikontrol," ujar BW.

DPR tak adil
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan sikap DPR karena tidak adil dalam mengkritisi lembaga yang memiliki kewenangan menyadap.

Menurut Zainal, patut dicurigai saat DPR hanya menyoroti kewenangan penyadapan KPK tapi tidak mengevaluasi lembaga lain yang memiliki kewenangan serupa.

Ia menuturkan, praktik penyadapan KPK memiliki syarat ketat dan harus seizin lima komisioner.

Selain itu, KPK adalah satu-satunya lembaga penegak hukum yang aktivitas menyadapnya selalu diaudit.

"Kenapa cuma KPK yang diberi barrier (dalam menyadap), dibilang melanggar HAM. Yang lain gimana?" ungkap Zainal.

KPK tak perlu SP3
Selanjutnya, mantan pelaksana tugas komisioner KPK, Johan Budi SP, mengatakan, KPK tidak memerlukan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena proses penyelidikan dan penyidikannya berbeda dengan kepolisian atau Kejaksaan Agung.

"Banyak persepsi yang muncul pengeluaran SP3 itu bisa menjadi barang dagangan, tergantung dengan pesanan terdakwa," kata Johan.

Ia melanjutkan, proses penyelidikan di KPK dimanfaatkan untuk mencari dua alat bukti.

Setelah mendapat dua alat bukti, KPK langsung menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan berikut menetapkan tersangka.

Johan menegaskan, KPK tidak akan menetapkan tersangka tanpa ada minimal dua alat bukti kuat.

Oleh karena itu, seluruh terdakwa yang diseret KPK ke pengadilan selalu divonis bersalah.

Dalam sebuah diskusi, BW sempat mengutip hasil survei Indikator yang menyebut 78 persen responden anak muda di Indonesia menolak revisi UU KPK.

Kategori anak muda dalam survei itu adalah WNI berusia 20-40 tahun yang jumlahnya ditaksir lebih dari 80 juta jiwa.

"Pertanyaan reflektifnya, revisi ini mewakili siapa? Kalau Anda tidak bisa menjawab, apa alasan Anda melakukan itu," ucap BW.

Lemahkan KPK
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyatakan bahwa substansi revisi UU KPK berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Seluruh komisioner KPK akan menemui Presiden Jokowi untuk menyampaikan penolakan terhadap revisi UU itu.

Menurut Laode, DPR seharusnya membuat UU tentang perampasan aset untuk mendukung kinerja KPK.

Tapi ia kecewa karena substansi revisi yang diajukan DPR tidak menyasar kebutuhan pemberantasan korupsi.

"Kadang saya mikir, yang gatal yang mana, yang digaruk yang mana," ujar Laode.(kpc/rt)

Ikuti Terus Riautribune

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER