Seminar Nasional Hukum UR Mengangkat Tema Eksistensi Hukum Adat Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa

Selasa, 07 November 2017

PEKANBARU-riautribune: Bagaimana jika hukum adat ditawarkan sebagai sebuah solusi persoalan hukum ditengah masyarakat yang masih ketal adatnya hari ini, khususnya di Riau. Hal ini menjadi salah satu pembahasan yang mendalam bagi pakar hukum yang ada di Universitas Riau dalam balutan seminar Nasional Eksistensi Hukum adat sebagai sarana penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia. Kegiatan yang menghadirkan pakar hukum ini menurut ketua panitia Dr.Hayatul Ismi,SH,MH adalah upaya Fakultas hukum UR untuk terus mencari inti sari gagasan agar hukum adat lebih eksis dalam tatanan hukum Indonesia, Selasa (8/11)
  "Fenomena yang berlangsung hari ini, hukum Indonesia masih cenderung mengikuti hukum warisan dari kolonial. Padahal hukum tersebut tidak cocok dengan kondisi masyarakat kita, khususnya di Riau yang memiliki masyarakat adat. Filosofi yang harus kita ingat adalah hukum harusnya diangkat dari ciri khas masyarakatnya sendiri. Karena hukum tidak melulu sifatnya menjatuhkan sangsi, tetapi bagaimana melakukan edukasi, dan pengajaran kepada masyarakat bagaimana menjaga ketertiban seharusnya,"Ucap Dr.Hayatul Ismi.
  Kepada wartawan Dr.Hayatul Ismi mengatakan turut hadir sebagai pembicara yakni Prof.Dr. I Nyoman Sirtha, SH,MH guru besar Universitas Udayana, Dr.Pujiono, SH,Mum dosen fakultas hukum Universitas Diponegoro, Dr.Shidarta SH,MH fakultas humaniora Universitas Bina Nusantara, Dr.Firdaus Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau, dan dimoderatori oleh Rahmad Hendra SH,MKn.
  Sementara itu Dekan fakultas Hukum UR Dr Firdaus yang hadir sebagai pembicara yang juga dikenal aktif di lembaga adat Melayu Riau, menuturkan bahwa hukum harusnya lahir dari eksistensi masyarakatnya. Hukum harusnya diangkat dari ciri khas masyarakatnya sendiri, hanya saja hari ini yang menjadi tanggung jawab besar kita adalah mengubah pola pikir penegak hukum yang selalu terkukung oleh hukum positif atau hukum yang diwariskan oleh para kolonial.
 "Saya selalu mengkedepankan, dalam hukum adalah hal tertinggi adalah musyawarah dan mufakat, penyelesaian tindak pidana ringan bisa diselesaikan dalam sebuah solusi yang memberikan pengajaran, dan tidak hanya menghukum. Kita tidak ingin penjara-penjara di Indonesia ini penuh sesak oleh kasus-kasus tipiring yang justru malah membuat mereka sebagai calon kriminal besar. Biarlah hukum adat yang menyelesaikan persoalan hukum tersebut, dan akhirnya hakim-hakim agung kita ini bisa fokus terhadap pelanggaran hukum yang lebih maha dasyat dan mengancam negara ini,"Ucap Firdaus dengan nada tegas dan penuh semangat.
  Hal yang senada juga ditambahkan oleh dosen muda fakultas Hukum UR, bahwa pola fikir peneliti yang harusnya diperbaiki bahwa tidak akan ada negara, tanpa masyarakat adat. Harusnya kukungan terhadap hukum adat, sudah bisa dihilangkan sejak sekarang, biarlah hukum adat itu eksis sehingga bisa mengawal masyarakat adat kita.
  Sementara itu, Dr.Pujiono dari penelitiannya dibeberapa daerah seperti penelitian di Makasar dan Pontianak,dirinya menemukan ada banyak sanksi hukum yang masih bisa berlaku. Seperti sanksi salahkrono, sangso denda selong atau saksi sepekan tidak diajak bicara oleh masyarakatnya, ini menjadi sanksi moral masyarakat yang akhirnya bisa menghukum sipelaku secara adat, dan mudah-mudahan mereka bisa melakukan perbaikan atas kesalahan yang dibuat.
  "Sebenarnya hal-hal sederhana inilah yang kemudian ingin diperkuat masyarakat adat, sehingga kita semua tidak lagi terjebak oleh hukum kolonial yang sifatnya melulu menghabiskan eksistensi dalam bermasyarakat,"Ucap Pujiono.