Viral Siswi 'Jurnalis Cilik' Dihukum Kepsek Soal Liputan Upacara

Selasa, 07 November 2017

ilustrasi internet

PAPUA - riautribune : Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, akan menindaklanjuti kasus jurnalis cilik yang dihukum karena hasil liputannya mengenai upacara bendera di sekolahnya.

Sekretaris Daerah Jayawijaya, Yohanis Walilo, menyayangkan tindakan kepala sekolah SMP YPPK St. Thomas Wamena yang menghukum siswi bernama Enjelita Meho dengan berlutut. Menurutnya, siswi seperti Enjelita seharusnya diberikan bimbingan untuk perbaikan dan mendorong siswa untuk berkarya, bukannya dihukum.

"Kalau anak itu mengembangkan bakat untuk cita-citanya menjadi jurnalis, dan kalau betul ada kesalahan, itu harusnya menjadi tugas guru untuk memberikan bimbingan, tidak harus langsung diberikan hukuman. Saya akan panggil dulu dinas pendidikan perihal ini," kata Yohanis kepada wartawan Yuliana Lantipo di Papua, yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Kasus ini berawal ketika Enjelita, yang akrab disapa Lita, menulis mengenai kegiatan upacara bendera di sekolahnya pada Senin, 23 Oktober 2017.

Lita, yang juga anggota komunitas Jurnalis Warga (JW) Noken Jayawijaya, kemudian mengirimkan tulisannya ke RRI Wamena. Oleh RRI Wamena naskah itu disiarkan pada 25 Oktober 2017, di jalur Lintas Berita Pegunungan Tengah.

Namun, pada Jumat (27/10), seluruh murid SMP YPPK St. Thomas Wamena dikumpulkan di lapangan sekolah. Menurut Lita, Kepala Sekolah, Theresia Madaun, bertanya menggunakan pengeras suara.

"Ibu guru bilang siapa yang jurnalis noken di sini? Terus saya angkat tangan. Ibu guru suruh saya maju. Saya maju, terus ibu guru suruh saya berlutut setengah jam, dari jam 07.00 sampai 07.30. Ibu guru bilang, kalau kerja jangan sekolah," tutur Lita.

Saat dihukum, Lita mengaku mendapat ejekan dari sesama teman sekolah. "Teman-teman juga jadi ikut ejek saya, mereka bilang karena mati dapat uang jadi kirim berita ke RRI," katanya.

Kepala SMP YPPK St. Thomas Wamena, Theresia Madaun, menjawab ketika dihubungi melalui telepon seluler. Namun, dia langsung mematikan ponsel ketika mengetahui akan ditanya perihal Lita.

Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan YPPK St Thomas Wamena, Stefanus Ngadimin, mengatakan seluruh proses tata tertib di setiap sekolah ada pada pucuk pimpinannya, yaitu kepala sekolah. Namun, ia mengaku belum mendengar laporan perihal Lita.

"Maaf, kami belum tahu. Jadi belum bisa memberikan jawaban menyeluruh. Hukuman itu apakah bersifat mendidik, atau fisik, atau mengganggu batin anak, besok siang baru saya cek ke kepala sekolah," ucap Stefanus.

Surat pemanggilan

Selain memberikan hukuman berlutut kepada Lita, kepala sekolah mengeluarkan surat pemanggilan kepada wali siswi yatim tersebut. Pater John Djonga, wali Lita, memenuhi pemanggilan tersebut pada pada Senin (30/10).

Dalam surat pemanggilan yang ditandatangani oleh wali kelas VIII A, Benedikta Taborat, menyebutkan pemanggilan tersebut berkaitan dengan kesalahan dalam mempublikasikan nama lembaga sekolah yang dilakukan oleh siswa Enjelita Meho.

"Mereka bilang alasannya dua, karena tidak ada izin wawancara dan naskah siaran menyebut yang diwawancara kepala sekolah tapi yang berbicara orang lain yaitu pembina upacara saat itu," kata John Djonga.

"Namun, saya juga tanya, kenapa ibu guru siksa dia di depan teman-temannya sampai anak lain keluarkan kata-kata kurang baik untuk anak ini? Tapi guru itu tidak kasih jawaban. Dia hanya bilang harus ada surat pemberitahuan. Guru itu merasa dia benar," tambahnya.

Koordinator Jurnalis Warga Noken, Ronny Hisage, yang juga penyiar laporan Lita di RRI Wamena edisi 25 Oktober 2017, menampik tudingan sekolah bahwa ada kesalahan dalam mempublikasikan nama organisasi sekolah.

"Rekaman dan tulisannya masih ada pada saya, tidak ada yang salah. Ditulis jelas-jelas SMP YPPK St. Thomas Wamena," kata Ronny.

Kelalaian yang dilakukan Lita, jelas Ronny, adalah mencantumkan nama guru yang menjadi pembina upacara sebagai kepala sekolah. Meski begitu, lanjut Ronny, kekeliruan seperti itu mestinya bisa diperbaiki tanpa memberikan hukuman yang dapat menimbulkan tekanan bagi siswa yang baru belajar menjadi jurnalis cilik.

"Kalau ada kesalahan dalam penulisan nama, ya itu kan anak yang baru belajar wawancara dan membuat berita. Jadi seharusnya tidak perlu sampai ada surat panggilan atau hukuman di depan teman-temannya. Paling tidak, panggil pribadi lalu berikan support, apresiasi, dan memberikan masukan kesalahannya di bagian mana," jelas Ronny.

Ronny berharap adanya dukungan dari pihak sekolah dan kejadian tersebut tidak memberikan trauma bagi siswa seperti Lita di kemudian hari.

"Kami berharap ada kebebasan buat anak-anak untuk berkreasi. Kami sangat menyayangkan karena teman kami dari jurnalis warga yang lagi belajar dan lagi semangat-semangat untuk menjadi seorang jurnalis ini tiba-tiba dihukum, itu bisa matikan semangat dan (menciptakan) trauma," tutur Ronny.(dtk)