M.Mardhiansyah: "Bukanlah Kawasan yang Potensial untuk dikelola Masyarakat"

Selasa, 17 Oktober 2017

 
PEKANBARU-riautribune: Menyikapi adanya sikap dari beberapa pihak mengenai wacana pencabutan IUPHHK-HTI PT RAPP yang ditandai dengan surat dari Kementerian LHK Nomor S.1254/MENLHK-SETJEN/ROUM/HPL.1/10/2017 tanggal 6 Oktober 2017 perihal peringatan II, hendaknya tidak disimpulkan secara premature, dan dipandang menjadi sebuah jawaban atas pengelolaan gambut saat ini. Demikian diungkapkan oleh pengamat kehutanan Riau M.Mardhiansyah ketika dimintai tanggapannya oleh Riautribune.com baru-baru ini.
  “Dalam peringatan II itu disebutkan dimana LKH melarang PT.RAPP untuk melakukan penanaman kembali dengan jenis Acacia sp. dan Eucalyptus sp. pada areal Fungsi Ekosistem Lindung Gambut (FLEG) dan menyatakan RKUPHHK-HTI PT.RAPP tidak sesuai dengan aturan tata kelola gambut dan tidak sah sebagai acuan kegiatan operasional di lapangan. Jika ini terjadi, arahnya adanya pelarangan operasional perusahaan, ingat ada ratusan ribu nasib karyawan yang digantungkan dalam keberadaan perusahaan ini. Hal ini juga menjadi Kegalauan dan kecemasan bergejolak diminda para Karyawan yang terancam mengalami PHK. Nasib masa depan kehidupan mereka dan keluarganya sedang terancam. Suasana sikologis ini hendaknya juga perlu dipahami oleh pemerintah pusat terutama Kemen LHK,”tegas Mardhi
 
Ditambahkannya, perlu sebuah pemahaman yang mendalam akan situasi ini, namun tidak pada sebuah kesimpulan singkat yang akhirnya justru menghasilkan keputusan yang emosional.
 
“Peraturan Menteri LHK RI Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan HTI mengamanahkan pemegang IUPHHK-HTI wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI jika terdapat kawasan hutan dengan fungsi Ekosistem Gambut pada areal IUPHHK-HTI nya. Untuk itu Pemegang IUPHHK-HTI wajib menyusun usulan revisi RKUPHHK-HTI paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pemegang IUPHHK-HTI menerima peta fungsi Ekosistem Gambut dan disampaikan kepada Direktur Jenderal untuk dikonsultasikan guna mendapat persetujuan. Perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung yang telah terdapat tanaman pokok pada IUPHHK-HTI, pemanfaatannya diatur sebagai berikut: 
a. tanaman yang sudah ada dapat dipanen 1 (satu) daur dan tidak dapat ditanami kembali.
b. wajib dilakukan pemulihan; dan
c. dialokasikan sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI. 
Perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung yang belum terdapat tanaman pokok pada IUPHHK-HTI, wajib dipertahankan sebagai Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung menjadi Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI.
IUPHHK-HTI yang telah terbit dan sudah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, izinnya dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir, dengan wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI dan RKUPHHK-HTI berdasarkan Peraturan Menteri. Dalam hal pemegang IUPHHK-HTI tidak melaksanakan kewajiban akan dikenakan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, pembekuan, atau pencabutan izin,”Ucap Mardhi.
 
Ditambahkannya, amanah peraturan Menteri LHK tersebut membuat posisi realisasinya menjadi laksana buah simalakama. Jika pemegang IUPHHK-HTI menjalankan kewajibannya, maka akan mengalami kerugian yang sangat besar dan berdampak pada gejolak ekonomi dan sosial di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan bukan hanya kehilangan produksi kayu namun juga berkewajiban melaksanakan kegiatan pemulihan yang membutuhkan biaya dan teknologi. Di sisi lain jika tidak dilaksanakan akan berdampak pada pencabutan ijin yang tentunnya akan menimbulkan kerugian secara ekonomi dan berdampak pada dinamika sosial masyarakat. Kondisi tersebut mendorong beberapa pihak mengharapkan peninjauan ulang aturan tersebut. Diantaranya sebagai mana berita yang beredar bahwa Makamah Agung telah mengabulkan gugatan DPD Riau-K SPSI membatalkan Peraturan Menteri LHK RI Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017.
Berdasarkan aturan yang ada, areal IUPHHK-HTI yang berstatus sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut tersebut tidaklah diperuntukkan untuk dibagikan hak pengelolaannya ke masyarakat sebagaimana skema Perhutanan Sosial. Karena areal tersebut masih termasuk ke dalam areal IUPHHK-HTI yang tidak dibenarkan melakukan kegiatan budidaya dan wajib melakukan pemulihan. Jadi areal tersebut masih menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTI. Demikian pula jika areal yang berstatus sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut yang sudah dicabut ijinnya tidak serta merta dan sangat tidak bijak jika dibagikan hak pengelolaannya kepada masyarakat. Perhutanan sosial akan tidak potensial diterapkan pada Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut.
Pemulihan fungsi Ekosistem Gambut merupakan tanggung  jawab; (1) Menteri untuk kawasan hutan konservasi yang tidak dibebani izin usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya untuk: (a) kawasan hutan lindung yang tidak dibebani izin usaha dan/atau kegiatan; (b) kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin usaha dan/atau kegiatan; (c) taman hutan raya yang tidak dibebani izin usaha dan/atau kegiatan; (d) areal penggunaan lain, termasuk lahan yang dikelola oleh masyarakat dan/atau masyarakat hukum adat; (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, untuk areal usaha dan/atau kegiatan. 
Kondisi keuangan pemerintah dah pemerintah daerah yang sedang gencar melakukan efisiensi anggaran akan terbebani oleh tanggung jawab pemulihan Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Dapat diduga proses pemulihan tidak akan berjalan optimal. Pemulihan dilakukan dengan cara: (a) suksesi alami; (b) rehabilitasi; (c) restorasi; dan/atau (d) cara lain yang sesuaidengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disisi lain, pemerintah belum mampu menunjukkan kinerjanya dalam mengelola kawasan secara lebih baik. Kawasan hutan dan lahan Gambut yang tidak dikelola akan lebih berpotensi terjadinya kebakaran dan sulit untuk dikendalikan.
Areal IUPHHK-HTI yang berstatus sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut baik yang masih berlaku maupun yang telah dicabut ijinnya tidak juga dapat dengan langsung dialokasi untuk skema TORA sebagai bentuk Reformasi Agraria. Karena areal yang bisa dijadikan TORA adalah areal yang tidak berstatus sebagai kawasan hutan. Sehingga jika dicadangkan untuk areal TORA haruslah terlebih dahulu dikeluarkan dari kawasan hutan. Kondisi ini dapat berdampak pada semakin kecilnya kawasan hutan yang tersedia sehingga akan memperberat fungsi hutan sebagai penyangga lingkungannya. Selanjutnya penerima TORA pun akan sulit mengelolaan dan memanfaatkan lahan tersebut karena status Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut berlaku untuk kawasan hutan atau bukan hutan. 
 
“Dengan demikian revisi RKUPHHK-HTI maupun pencabutan IUPHHK-HTI tidaklah potensial untuk mengembalikan hak pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat. Jika yang dibagikan kepada masyarakat adalah merupakan Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut, itu terkesan sebagai melimpahan tanggung jawab pemulihan yang dibungkus dengan eforia mengembalikan hutan tanah ke masyarakat untuk kesejahteraan,”Ucap Mardhi