Sharp Dirikan Instalasi Panel Surya Di Pulau Sangiang

Rabu, 04 Oktober 2017

BANTEN – riautribune : Berdasarkan IUCN Red list, penyu menjadi salah satu reptile laut yang terancam punah. Penyu merupakan hewan dengan tingkat harapan hidup yang sangat rendah, hanya sekitar 2% dari telur yang menetas dapat tumbuh menjadi penyu dewasa. Selain ancaman alami seperti hewan predator biawak, hiu, burung, semut dan sebagainya, ancaman lain juga terjadi  seperti  hancurnya habitat karena perubahan iklim serta ekploitasi oleh manusia mulai dari pencurian telur, daging, karapas hingga tukiknya itu sendiri untuk diperdagangkan secara ilegal.

Bersama-sama dengan Yayasan Terangi ( Terumbu karang Indonesia ) dan BKSDA TWA Pulau Sangiang, PT SHARP Electronics Indonesia melalui program ‘SHARP Solar Panel Project’ mendukung kegiatan konservasi penyu di pulau ini dengan cara memfasilitasi kebutuhan mereka akan asupan tenaga listrik yang ramah lingkungan untuk dipergunakan pada sistem sirkulasi air ( running water system) berupa pompa, filter, dan jaringan pipa. “SHARP memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pelestarian lingkungan dan kenekaragaman hayati Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, penyu merupakan hewan yang dilindungi dan sudah terancam punah keberadaannya di dunia. Melalui program ‘SHARP Solar Panel Project’ SHARP memberikan kontribusinya untuk melestarikan penyu agar anak-anak Indonesia di masa depan masih dapat mengenal dan melihat keberadaan penyu secara langsung tidak hanya melalui gambar”, ungkap Pandu Setio selaku PR, CSR & Promotion Manager  PT Sharp Electronics Indonesia.

Indonesia memiliki enam spesies penyu dari tujuh  spesies yang tercatat di dunia, yaitu penyu  hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata),  penyu  abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Keenam penyu tersebut telah dilindungi secara penuh oleh Undang - Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang – Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Menteri Kelautan dan Perikanan pun telah mengeluarkan Surat Edaran No. 526/MEN-KP/VIII/2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.

Pulau Sangiang yang terletak di Selat Sunda, merupakan kawasan tempat persinggahan migrasi penyu antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan untuk bertelur, dimana pada tanggal 8 Februari 1993 melalui SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1993 kawasan Pulau Sangiang ditetapkan menjadi Taman Wisata Alam dengan luas 528,15 ha. Lokasinya yang dekat dengan perkotaan dan lingkungan penduduk menjadikan telur – telur dikawasan ini rentan rusak dan dicuri.  

Dilatarbelakangi hal tersebut, Yayasan TERANGI bersama dengan BKSDA TWA Pulau Sangiang, berupaya untuk mengembangkan penetasan penyu di Pulau Sangiang sebagai sarana konservasi penyu. Namun konservasi penyu di pulau ini bukanlah perkara yang mudah, minimnya asupan listrik menjadikan area konservasi tukik menjadi tidak optimal. Sebelum siap di lepas ke laut, telur yang sudah menetas dan menjadi tukik akan tinggal di kolam pembesaran.

Tukik – tukik ini akan dimonitor pertumbuhan dan kesehatannya. “Hingga saat ini, tukik yang baru menetas ditempatkan ke dalam kolam dengan sirkulasi air yang bergantung pada tenaga manusia. Walaupun upaya pembersihan dan penggantian air telah dilakukan oleh staf BKSDA, tapi keterbatasan sumberdaya manusia membuat proses penggantian air tidak dapat dilakukan lebih sering. Akibatnya kotoran dan bekas-bekas makanan menetap pada kolam. Hal tersebut menyebabkan kualitas air pada bak penampungan tidak terjaga, keadaan yang disukai oleh jamur, ganggang, dan bakteri. Kondisi saat ini, sebagian tukik yang tinggal dalam bak mengalami infeksi oleh jamur dan bakteri pada lipatan kulit dan mata. Selain itu, karapas bagian punggung juga ditumbuhi oleh jamur dan ganggang. Tukik-tukik yang mengalami infeksi tersebut memiliki kemungkinan hidup yang lebih kecil dibandingkan tukik yang sehat”, ungkap Safran Yusri selaku Ketua Yayasan Terumbu Karang Indonesia ( TERANGI ).

Oleh sebab itu, Yayasan TERANGI berupaya mengembangkan sistem sirkulasi air otomatis yang dapat menyalurkan air laut bersih dan mengeluarkan air kotor dari bak penampungan. Adanya keterbatasan asupan listrik menjadi kendala utama untuk berjalannya system tersebut. Melalui program ‘SHARP Solar Panel Project’, SHARP mendirikan Solar Panel System yang dapat digunakan untuk memberikan penerangan dan menjalankan system sirkulasi air pada pada bak penampungan tukik hingga kebersihan airnya dapat terjaga kualitasnya.

Di Pulau Sangiang, Sharp memasang 4 solar panel yang mampu menghasilkan 1200 watt energi listrik. Proses kerja dari solar panel ini adalah mengkonversikan energi dari cahaya matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan prinsip efek Photovoltaic, dimana solar panel yang terbuat dari bahan semiconductor menyerap energi  matahari untuk dirubah menjadi energi listrik.

“Diharapkan dengan adanya area konservasi penyu di Pulau Sangiang ini akan meningkatkan kesadaran pengunjung dan penduduk pulau akan pentingnya menjaga kelestarian penyu. Pelestarian penyu merupakan tanggung jawab kita semua, kita dapat berkontribusi melakukan pelestarian dengan cara kita masing-masing seperti stop makan telur dan daging penyu, stop membeli pernak-pernik berbahan tempurung penyu, stop membeli dan memelihara tukik dan yang paling penting adalah menjaga area tempat penyu bertelur dan tidak mengganggu habitat penyu – penyu tersebut”. Tutup Pandu.(rls)