Sri Mulyani Surati Menteri Jonan dan Rini

Senin, 02 Oktober 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Kondisi keuangan PT PLN (Persero) yang seret dan diambang kebangkrutan, membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani bergerak cepat dengan memperingatkan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Sebab, berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Peringatan keras Sri Mulyani kepada kedua menteri tersebut tertuang dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 itu. Tercatat, ada 5 poin yang disampaikan Sri Mulyani.

Surat yang berisikan Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur Ketenagalistrikan ini ditulis pada 19 September 2017. Surat yang ditandatangani Sri Mulyani tersebut juga ditembuskan kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Direktur Utama PLN dan Dewan Komisaris PLN.

Pada dasarnya, Sri Mulyani khawatir dengan beban PLN dalam pemenuhan target 35.000 megawatt (mw). Selain itu, bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari Tarif Tenaga Listrik (TTL)yang dibayarkan oleh pelanggan dan subsidi listrik dari pemerintah, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan adanya regulasi yang mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik.

Peringatan Sri Mulyani yang berbentuk surat ini ternyata bocor dan membuat heboh. Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung memanggil Menteri ESDM Ignasius Jonan ke Istana Negara.

Setelah pertemuan, Jonan juga memanggil Direktur Utama PLN Sofyan Basir untuk membicarakan hal tersebut. Hasilnya adalah, meskipun kondisi keuangan PLN dan berpotensi gagal bayar utang, tarif listrik tidak akan naik hingga akhir tahun 2017.

"Yang pertama pertimbangannya adalah daya beli masyarakat," kata Jonan ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu 27 September 2017.

Menurut Jonan, kendati tidak menaikkan TDL, PLN akan tetap meraih pendapatan pada 2017. "Jadi bukan rugi lho ya, pasti masih untung. Kehilangan pendapatan itu mungkin sekitar Rp4-RP5 triliun. Jadi tidak apa-apa," ujar Jonan yang menambahkan pendapatan PLN mencapai rata-rata Rp300 triliun per tahun.

Jonan juga meminta PLN agar dapat melakukan efisiensi pada biaya-biaya perawatan. Selain itu, Jonan menyampaikan keyakinannya dengan pendapatan yang diperoleh PLN pada 2017 tidak ada pengaruh kepada megaproyek pengadaan listrik 35.000 mw.

"Tidak ada, tidak ada. Kan 35.000 mw itu tidak diselesaikan sampai 2019 saja. Kan tidak mungkin bisa juga secara teknis. Jadi akan diselesaikan mungkin sampai 2023/2024," kata Jonan.

Menurut Direktur Utama PLN Sofyan Basir, statement Menteri Keuangan sebagai suatu hal biasa. "Itu mah biasa (pesan dari Menteri Keuangan). Tiap tahun juga ngingetin kita," kata dia ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.

Disampaikannya, bahwa pihaknya tidak khawatir dengan isi surat yang disampaikan oleh Menteri Keuangan mengenai kondisi keuangan PLN yang dinyatakan mengalami kemerosotan sehingga membuat PLN terancam sulit membayar utangnya.

"Enggak ada (kekhawatiran). Memang biasa begitu (diingatkan Menteri Keuangan) cuma biasanya lisan 'Hati-hati ya Bapak Dirut, jangan sampe rasionya (DSCR/debt service coverage ratio) turun dari 1,5'. Ya sudah gitu aja," ujar Sofyan.

Menteri BUMN Rini Soemarno akhirnya angkat bicara soal ini. Rini menilai tak ada yang perlu dipersoalkan dari pernyataan Menteri Keuangan dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 dalam menyoroti kinerja keuangan PLN yang dinilai mengalami penurunan dan membuat perusahaan listrik milik negara itu gagal bayar utang.

"Jadi normal dong sebagai Menteri Keuangan mengingatkan kita 'ini kamu proyeknya banyak, tolong jagain rasionya (rasio utang), debt equity ratio. Rasio ini yang memang selama 3 tahun kita di BUMN tekankan terus kepada direksi ini harus dijaga," kata Rini saat ditemui di Jakarta, Kamis 28 September 2017.

Poin-poin yang disampaikan Menteri Keuangan dalam menyoroti kinerja keuangan PLN, dinilai Rini lebih kepada agar PLN siap apabila terjadi hal-hal yang mungkin cukup menantang buat perusahaan tersebut.

"Harus selalu ada worst position (memposisikan kondisi terburuk). Jadi normal aja," lanjutnya.(okz)