“Konservasi Dan Perlindungan Hutan, Bukan Upaya Menjauhkan Masyarakat Dari Kesejahteraan”

Selasa, 29 Agustus 2017

PEKANBARU - riautribune : Pada Workshop yang dilaksanakan oleh Yayasan Belantara bekerjasama dengan DPW FKKM Riau untuk menyusun Rencana Strategis (Renstra) sebagai acuan strategi dalam mendorong upaya proteksi dan restorasi pada 5 (lima) bentang alam di Propinsi Riau pada tanggal 28-29 Agustus di Hotel Grand Zuri Pekanbaru, selaku Koordinator DPW FKKM Riau M.Mardhiansyah sebagai pemateri dalam pemaparannya menyampaikan bahwa, telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan hutan yang semula dalam perspektif negara, pemerintah adalah pemain tunggal dalam pengelolaan hutan, bergeser ke arah Perspektif community based dimana Hutan harus dikelola oleh pihak-pihak yang pro kepada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pemain dalam prespektif ini adalah pemerintah, masyarakat, pebisnis, tokoh masyarakat dan tokoh adat.

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Riau itu juga menjelaskan bahwa di Riau, Hutan dipandang sebagai Penyangga Kehidupan dan Kebudayaan. Dimana dalam konteks tata kelola hutan di Indonesia, cenderung memandang masyarakat dan swasta merupakan “penyewa rumah” sedang pemerintah adalah “pemilik rumah”. Dinamika yang sering dihadapi di Riau sehingga memicu konflik pengelolaan hutan antara swasta - masyarakat - pemerintah disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Negara (Pemerintah) tidak hadir dalam pengelolaan hutan (RTRW, status lahan, dll); (2) Pemahaman publik yang kurang tepat; (3) Perhatian dan kepentingan internasional terhadap hutan dan kawasan hutan. Oleh karena itu menjadi penting pengelolaan hutan dan kawasan hutan yang partisipatif dan prospektif melibatkan multi pihak.

 Seiring dengan meningkatnya perhatian publik pada fungsi ekologi dari hutan melalui fungsi konservasi dan fungsi lindungnya, maka upaya proteksi dan restorasi hutan menjadi hal yang sangat strategis dan krusial. Berbagai aturan peraturan terbit untuk mengharuskan melakukan perlindungan dan konservasi. Yang paling hangat di kawasan yang didominasi gambut seperti di Propinsi Riau adalah terbitnya PP Nomor 57 tahun 2016 sebagai revisi dari PP Nomor 71 tahun 2014. Dengan berbagai pro dan kontranya, yang harus dipahami bahwa semangat Peraturan tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan kawasan gambut.

Pemerhati Kehutanan yang merupakan anak Negeri Bengkalis ini berpandangan bahwa, upaya konservasi dan perlindungan kawasan berbasis bentang alam khususnya Gambut bukan merupakan upaya menjauhkan masyarakat yang bermukim dan berada disekitar hutan dari kesejahteraan. Upaya yang dilakukan harus berorientasi pada kesejahteraan dan peradaban manusia yang ada pada kawasan bentang alam tersebut. Pemulihan dilakukan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perhutanan Sosial sebagai salah satu bentuk pengelolaan kawasan yang melibatkan multipihak merupakan suatu harapan jika masyarakat memahami untuk memanfaatkan kawasan dan bahkan akan menjadi ancaman jika masyarakat masih berpersepsi penguasaan (memiliki) kawasan. Perhutanan Sosial menjadi Harapan bagi Kehutanan di Provinsi Riau dalam hal: (1) Pengelolaan yang kolaboratif dan partisipatif; (2) Peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat (3) Meminimalisir konflik sosial dan tanurial pengelolaan hutan; (4) Menyangga kebudayaan; (5) Pelestarian lingkungan; (6) Mendukung kondusifitas iklim investasi. Pengelolaan kawasan yang kolaboratif dan partisipatif melibatkan multi pihak harus memperhatikan: (1) Optimalisasi Produktifitas kawasan; (2) Pelestarian lingkungan; (3) Pemahaman dan kepatuhan para pihak terhadap regulasi; (4) Optimalisasi kearifan lokal dan penghormatan kebudayaan setempat; (5) Kehadiran Pemerintah dan Pemerintah daerah secara nyata dalam pengelolaan hutan.

Koordinator DPW FKKM Riau yang sering disapa Mardi menyampaikan gagasannya bahwa optimalisasi produktifitas kawasan hutan merupakan langkah strategis ditengah terbatasnya luasan kawasan hutan namun kebutuhan akan fungsi hutan terus meningkat. Hutan tak semata dipandang sebagai penghasil kayu semata, namun produksi bukan kayu dan jasa lingkungan lainnya harus dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Pelibatan para pihak dalam pendampingan dan kemitraan sangat diperlukan. Peran Swasta dalam pola kemitraan sangat berperan produktif. Swasta tak patut dianggap sebagai “musuh” bersama dalam pengelolaan hutan, karena dalam pengelolaan kawasan hutan pihak Swasta mendapat mandat dari Pemerintah sebagai pelaksana tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam mengelolaan hutan dan kawasan. Pendampingan dan penguatan jaringan serta kontrol dari NGO sangat diperlukan untuk kesuksesan pengelolaan hutan dan kawasan hutan.

Pemilihan jenis yang akan dikembangkan untuk tujuan perlindungan dan konservasi sepertinya harus melawan arus kebiasaan dimana memilih jenis yang punya nilai ekonomis dan pioner. Ke depan jenis yang dikembangkan dikawasan lindung dan konservasi haruslah jenis yang tak bernilai ekonomis dan tak disukai masyarakat namun memiliki kesesuaian tempat tumbuh pada kawasan yang akan dikonservasi dan dilindungi. Jika jenis yang bernilai ekonomi dan diminati masyarakat, maka akan sangat berpotensi dirambah dan dipanen secara ilegal sebelum waktu masak tebangnya. Jika itu yang terjadi, maka tujuan konservasi dan melindungi pada kawasan tersebut akan sulit tercapai. Pemilihan jenis yang menyangga dan disakralkan oleh kebudayaan merupakan langkah  pemilihan jenis yang stratregis dalam upaya proteksi dan konservasi kawasan. Kayu jenis-jenis tersebut tentu akan dilindungi oleh kelembagaan adat dan hanya digunakan terbatas untuk kepentingan adat dan budaya semata. Pada upaya pemilihan jenis dan budidaya ini diperlukan intervensi silvikultur dan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak berpasrah pada pengetahuan tradisional semata.

Pada akhir paparannnya, diserukan kepada para pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan harus memiliki pemahaman yang sama bahwa Ekosistem harus dikelola secara lestari dimana ketiga pilar kelestarian harus dijalankan sebagai satu kesatuan secara selaras dan sinergi. Para pihak harus saling percaya dan menghormati peran dan fungsinya masing-masing sesuai mandat dan legitimasi yang dimilikinya. Kelestarian kawasan dan hutan haruslah berorientasi pada Lingkungan yang elok terjaga, Kesejahteraan yang nikmat dirasa dan Kehidupan sosial yang nyaman berwibawa.