KPAI: Kasus Pornografi dan Kejahatan Siber Anak Meningkat

Senin, 28 Agustus 2017

illustrasi Internet

JAKARTA -- riautribune : Data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan adanya peningkatan kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak. Peningkatan ini dinilai tak lepas dari pengaruh dunia digital, khususnya media sosial. "Kasus cyber crime dan pornografi itu naik," ungkap Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati.

Berdasarkan data yang dihimpun KPAI, jumlah kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak terus meningkat sejak 2012 lalu. Pada 2012, jumlah kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak tercatat sebanyak 175 kasus. Jumlah ini meningkat menjadi 247 kasus pengaduan pada 2013 dan menjadi 322 kasus pada 2014.

Pada 2015, kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak menduduki posisi keempat terbanyak dalam klaster perlindungan anak dengan jumlah 463 kasus. Pada 2016, posisi klaster pornografi dan kejahatan siber naik menjadi peringkat ketiga dengan 587 kasus.

"Dulu peringkat keempat, sekarang naik jadi peringkat ketiga di 2016. Artinya, itu sesuatu yang memang real pada situasi seperti ini," sambung Rita.

Rita mengatakan beberapa akun media sosial yang mengeksploitasi anak dalam bentuk foto memang sudah ditindak dan sebagian lainnya sudah dalam kondisi tidak aktif. Tetapi kenyataan bahwa akun-akun tersebut pernah ada dan memiliki banyak pengikut menunjukkan bahwa ancaman kejahatan siber maupun pornografi yang melibatkan anak masih ada.

"Situasi ini memang masih hidup. 'Berkeliaran', potensi seperti itu," jelas Rita.

Untuk menghadapi situasi ini, Rita menilai diperlukan kerjasama berbagai pihak agar anak tetap terlindungi. Di satu sisi, Rita menilai pihak berwenang yaitu kepolisian perlu menyelesaikan proses hukum dari setiap kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak. Penelusuran kepada para pelaku juga harus dilakukan dengan menyeluruh.

Di sisi lain, kesadaran orang tua juga diperlukan khususnya saat menggunakan media sosial. Rita menyarankan agar orang tua tidak sembarangan mengunggah video atau foto anak mereka ke media sosial.

Sebagai contoh, banyak orang tua yang gemar mengunggah video atau foto ketika memandikan anak. Meski tampak lucu, video atau foto anak tersebut dapat dimanfaatkan dengan tidak baik oleh para pedofil yang ada di dunia maya. Bahkan, mengunggah foto anak yang sedang menggunakan singlet pun dapat membuat anak menjadi target para pengguna media sosial yang tidak baik.

"Itu ternyata bisa menjadi koleksi orang-orang seperti ini untuk berimajinasi," ujar Rita.(rep)