Dewan Curiga Ada Mark Up Di Pembelian Heli AW-101

Rabu, 23 Agustus 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Anggota Komisi I DPR RI Supiadin Aries Saputra menengarai adanya dugaan kuat tindak pidana korupsi dalam pembelian Helikopter Agusta Westland 101.

Wakil rakyat yang membidangi pertahanan negara itu mengakui pembelian heli telah sesuai prosedural. Namun ada dugaan kuat terjadinya penggelembungan anggaran atau mark up.    

"Soal pembelian dan pengadaan heli AW-101 yang ramai diperbincangkan secara prosedural sudah benar, namun memang terdapat mark up," ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk 'RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara dan Membedah heli AW-101' di Komplek Parlemen, Jakarta (Selasa, 22/8).

Purnawirawan TNI berpangkat mayor jenderal itu menekankan bahwa pengadaan alutsista di Indonesia bukanlah kewenangan dari panglima TNI, melainkan kewenangan Kementerian Pertahanan. Makanya, Supiadin menegaskan bahwa menteri pertahanan pasti sudah mengetahui soal pengadaan heli tersebut.

Politisi Partai Nasdem itu melanjutkan, untuk membeli alutsista, Komisi I selalu menyelenggarakan rapat tertutup atas permintaan mitra yakni Kemenhan dan panglima TNI. Pasalnya, terdapat hal-hal spesifik alutsist yang tidak boleh diketahui publik. "Karena itu ada hal-hal yang menyangkut kerahasiaan dalam sistem senjatanya, sehingga itu terbatas," kata Supiadin.

Namun, pembelian AW-101 yang menggunakan uang negara ternyata tidak sepengetahuan Komisi I. Terkait itu, pihaknya membentuk panja alutsista yang bertugas melakukan pengecekan segala sesuatunya terkait alutsista yang telah dibeli. "Menyangkut kasus-kasus dilapangan, itu diluar sepengetahuan dari Komisi I. Seperti sekarang terjadi kasus AW-101," beber Supiadin.

Pada kesempatan yamg sama, pengamat pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie menilai bahwa kasus AW-101 akan membawa banyak masalah. Utamanya terkait program pemerintahan Presiden Joko Widodo sendiri.

"Laporan presiden itu tertanggal 16 Februari 2017, di situ saya sampaikan sebenarnya untuk mencapai negara maritim dunia maka ada dua hal penting bagaimana pembangunan postur kekuatan dan proyeksinya. Dan bagaimana masalah industri pertahanan, karena itu yang harus didorong presiden demi terwujudnya kemandirian industri pertahanan," ujarnya.

Penilaian dia, jika dibandingkan, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo nampak kurang bekerja seperti yang dilakukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Di mana, Tito bisa menaikkan anggaran keamanan tahun 2014 sebesar Rp 44 triliun menjadi Rp 47 triliun di tahun 2017.

"Di mata saya, Pak Tito itu sudah bisa menerangkan soal keamanan. Dibandingkan dengan panglima TNI tahun 2014 Rp 86 triliun, tahun 2017 Rp108 triliun, dan bila dihitung secara kasar harusnya panglima TNI mendapat Rp 668 triliun, kenapa TNI kita berubah. Saat presiden menyatakan kita menjadi poros maritim dunia, otomatis kita menjadi negara dirgantara dunia. Tadinya kita defensif, kita menjadi ofensif," ulas Connie.(rmol)