Fadli Zon: Jangan Kaitkan Aksi Teror Dengan Revisi UU Anti-Terorisme

Rabu, 05 Juli 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Maraknya aksi teror belakangan ini telah membuat sejumlah pihak mendesak agar pembahasan revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) dapat segera diselesaikan. Pengesahan segera revisi UU tersebut dianggap membuat penanganan atas aksi teror bisa semakin efektif.  

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Fadli Zon menyatakan, Pansus Revisi UU Antiterorisme tidak ingin gegabah membahas draf revisi yang inisiatifnya diajukan pemerintah tersebut.

"Ada banyak persoalan dalam draf revisi yang diajukan pemerintah, sehingga DPR memilih berhati-hati dalam pembahasannya. Misalnya, ada usulan perpanjangan masa penahanan dari enam bulan menjadi 510 hari. Ini tak bisa diloloskan begitu saja, sebab proses penegakkan hukum atas tindak terorisme juga tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku," kata Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Fadli Zon.

"Jangan sampai penegakkan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum, itu prinsip yang ingin kita jaga. Kita tak berharap  tindakan hukum sejenis Petrus di masa lalu kini bisa terulang kembali dalam bentuk lain," imbuhnya.

DPR, jelas Fadli, ingin agar filosofi penanganan tindak terorisme tak berangkat dari prinsip pemberantasan teroris, sebagaimana yang sejauh ini dikedepankan, tapi lebih memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif.

"Info yang saya terima dari Ketua Pansus, saat ini pembahasannya sudah cukup maju kok, sudah lebih dari 60 persen dari total 112 DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang dibahas di Pansus," bebernya.

Fakta bahwa tindak terorisme dianggap sebagai extraordinary crime, menurut dia, jangan membuat Pansus seperti memberikan 'cek kosong' pada aparat penegak hukum.

"Kita harus belajar dari kesalahan dalam menangani extraordinary crime lainnya, seperti tindak pidana korupsi, misalnya. Lembaga atau aparat yang menangani extraordinary crime harus tetap bisa dikontrol dan diawasi," tegasnya.

Fadli memastikan bahwa DPR sangat peduli terhadap isu penanganan tindak terorisme harus memperhatikan dan tetap berada di dalam koridor hukum. "Tak boleh terus-menerus menggunakan diskresi. Kita harus taat pada due process of law, itu yang ingin dijaga," ujarnya.

Itu sebabnya, kata Fadli, DPR tak ingin tergesa-gesa mengesahkan UU Antiterorisme meski ada desakan dari sejumlah pihak. "Kalau pembahasannya tergesa-gesa, risikonya bisa banyak sekali nantinya.”

Apalagi, lanjut dia, secara teknis dalam revisi UU Antiterorisme ini kian banyak pihak yang harus disinergikan, mulai dari Polri, BNPT, BIN, TNI dan juga masyarakat sipil.

"Bagaimana bentuk sinerginya, itu yang sedang diatur. Yang jelas, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh negara atau aparat dengan menggunakan dalih terorisme.”

“Masukan yang diterima DPR sangat banyak. Sebagai gambaran, untuk definisi terorisme saja, ada 172 rancangan yang masuk usulan pembahasan. Untuk memformulasikan hal ini, tentu membutuhkan perumusan yang matang," paparnya.

Fadli pun membantah pembahasan revisi UU Antiterorisme berkaitan dengan aksi teror yang marak belakangan ini. Apalagi, dengan UU yang masih berlaku.

"Pembahasan yang sedang berlangsung di parlemen saat ini konteksnya hanya merevisi saja, sehingga bukan merupakan faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror," tukas wakil ketua umum Partai Gerindra ini.(rmol)