DPR sebut revisi pasal penistaan agama bisa cepat kalau pakai Perppu

Senin, 15 Mei 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Usai Majelis Hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama, muncul desakan untuk merevisi pasal 156 dan 156 a tentang Penistaan Agama. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto memprediksi perubahan aturan soal penistaan agama akan melalui pembahasan panjang.

Namun dia mengatakan perubahan aturan penistaan agama yang dianggap sebagai pasal karet tersebut bisa cepat dilakukan, dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Bisa saja kalau mau cepet menggunakan Perppu. Tapi apa iya Perppu hanya untuk masalah seperti ini. Namun, semua itu kita kembalikan lagi ke pemerintah," kata Agus di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/5).

Kendati munculnya gelombang desakan untuk merevisi pasal penistaan agama, Agus menyebut aturan itu masih eksis dalam UU KUHP. Agus menyarankan publik mematuhi putusan hakim yang masih menggunakan pasal 156 dan 156 a untuk menjerat para pelaku penodaan agama.

"Kita kan sudah berikrar bahwa panglima kita yang tertinggi adalah panglima hukum, sekarang masih eksis dalam KUHP masih ada kecuali memang ada perubahan ini masih ada eksis," tegasnya.

Agus menilai proses hukum kasus penistaan agama masih akan berjalan panjang mengingat kubu Ahok telah mengajukan banding atas vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan hakim. Akan tetapi, dia memprediksi hakim MA akan kembali menggunkan pasal penistaan agama dalam UU KUHP jika kasus tersebut sampai pada tingkat kasasi.

"Kan masih ada banding, kasasi, PK sehingga proses masih panjang. Dipersiapkan banding secara mungkin, kasasi dari pada kita melihat suatu pasal," pungkasnya.

Sebelumnya, desakan untuk merevisi pasal penistaan agama mulai bermunculan, salah satunya datang dari Setara Institute. Setara Institute mencatat terdapat 97 kasus hukum atas tuduhan penodaan agama yang terjadi selama periode 1965-2017.

Dari 97 kasus yang terjadi, 21 di antaranya diselesaikan di luar persidangan. Sisanya 76 diselesaikan di meja hijau. Ada 127 orang yang sudah diadili atau divonis dengan dalih menodai agama.

Setara Institute menilai dalil penodaan agama mengandung tingkat subjektivitas dan elastisitas yang sangat tinggi. Karenanya bertentangan dengan asas legalitas dalam konstruksi hukum positif.

"Sialnya pasal ini sudah digunakan untuk menghakimi yang di level atas," ujar peneliti Setara Institute Halili di Bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (11/5).

Menurutnya, bila DPR tidak mau mencabut UU tersebut maka pemerintah harus mengambil peran besar untuk mengkaji ulang pasal ini. Presiden Joko Widodo, Jaksa Agung, Ketua MA harus duduk bersama dengan menggunakan perspektif yang sama bahwa ini persoalan besar. Tujuannya agar tidak ada lagi korban dengan dalih penodaan agama.(mrdk)