Kak Seto: Pelaku Prostitusi Anak Layak Dikenakan Pasal Berlapis

Jumat, 17 Maret 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menganggap kasus prostitusi anak yang ditangani Polda Metro Jaya meresahkan masyarakat. Terutama para orangtua yang memiliki anak-anak yang masih kecil.

Terlebih lagi, para pelaku mengunggah foto dan video pencabulan tersebut di media sosial dan bisa ditonton secara bebas.

Dengan demikian, tak hanya UU Perlindungan Anak yang dikenakan, tapi juga UU Pornografi, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Hitam putihnya persoalan sudah terang benderang, pasal berlapis terhadap pelaku," ujar Seto melalui keterangan tertulis, Jumat (17/3/2017).

Terlebih lagi jika ada pengabaian orangtua atas apa yang terjadi pada anaknya. Bahkan, kata Seto, tak jarang orangtua yang justru menyodorkan anaknya kepada pelaku prostitusi anak untuk sekadar memenuhi kebutuhan dapur.

Jika hal itu terjadi, maka harus ada sanksi pemberatan bagi orangtua selain pengenaan hukum pidana. "Muasa asuh orangtua tersebut juga bisa dicabut. Itu dibenarkan oleh UU Perlindungan Anak," kata Seto.

Pria yang akrab disapa Kak Seto itu mencontohkan kasis Emon, paedofil asal Sukabumi. Sejumlah anak dan orangtua menyebut diri mereka sebagai korban hutang piutang, bukan korban kejahatan seksual.

Mereka merasa dirugikan Emon karena sang pedofil tidak membayar mereka sesuai kesepakatan.

Seto mengatakan, bagi korban dan orangtua tersebut, integritas tubuh anak bukan persoalan sama sekali asalkan ada keuntungan finansial yang bisa diperoleh.

"Padahal, kasus prostitusi ini bisa beranak pinak menjadi masalah seksualisasi perilaku, kehamilan di luar pernikahan, penyakit menular seksual, putus sekolah, para ibu usia remaja yang tidak siap mengasuh anak, dan lain-lain," kata Seto.

Selain pendindakan, Seto menganggap perlu adanya upaya pencegahan agar pelaku tak lagi mengulangi perbuatannya.Setelah menjalani masa hukuman, tak tertutup kemungkinan mereka mengulangi aktivitas tersebut.

Oleh karena itu, kata Seto, harus ada basis data mengenai pelaku yang bisa diakses secara terbuka. "Basis data tentang korban harus tertutup, semata-mata untuk kepentingan rehabilitasi," kata dia.

Seto menyayangkan UU Perlindungan anak yang baru direvisi tidak menjabarkan teknis pemberatan hukuman. Dalam undang-undang tersebut, dituliskan adanya sanksi pemberat seperti pemasangan chip hingga kebiri secara kimiawi.(kmps)