DPR Sinyalir Ada Konspirasi Perampokan Harta Negara

Senin, 16 Januari 2017

foto internet

JAKARTA - riautribune : Kalangan Senayan merasa kewenangannya dilangkahi dengan aturan baru soal pemindahan aset BUMN. DPR curiga ada pihak yang berencana memberikan karpet merah kepada investor untuk mendapatkan aset negara.

Perubahan Peraturan Pe­merintah (PP) Nomor 44 Tahun 2005 menjadi PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usa­ha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT), menuai kontroversi. Mulai dari anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), pengamat, dan legisla­tor memprotes isi regulasi yang isinya kini pemerintah boleh melepas/memindahkan aset BUMN tanpa lagi meminta persetujuan DPR.

Anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar mendesak Presi­den Jokowi untuk mencabut regulasi tersebut. Karena, isinya bertabrakan dengan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Pasal 45 ayat 2 yang menyebutkan pemindahtanganan aset negara harus mendapat persetujuan DPR. Dan, menabrak UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

"Peraturan Pemerintah dibuat tidak boleh menabrak Undang- Undang. Ketentuan itu sudah jelas. Regulasi yang bertentangan harus diubah," kata Nasril kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Tidak hanya dicabut, Politisi PAN ingin motif latar belakang dan tujuan penerbitan tersebut ditelusuri, apakah memang sengaja atau ketidaksengajaan, atau memang ada konspirasi.

Dia yakin penerbitan PP itu pasti memiliki tujuan. Aset mana yang mau dilepas, apakah yang di bawah Kementerian BUMN atau aset di bawah pengelolaan Kementerian Keuangan. "Saya melihat indikasi ada konspirasi perampokan harta negara. Indikasi penerbitan PP untuk melayani kepentingan investor sangat terasa," cetus­nya.

Anggota Komisi VI DPR lain, Zulfan Lindan juga meng­kritik penerbitan PP tersebut. Menurutnya, PP itu sama saja menutup peran dewan yang berkaitan dengan pengawasan terhadap penyertaan modal ter­hadap BUMN.

"Ada kawan bilang ini Presi­den tahu nggak ya, bahwa ada pasal itu. Mohon maaf, Presiden kita kan sibuk, banyak peker­jaan, tiba-tiba disodorkan, 'ini sudah bagus Pak'. Ternyata ada pasal yang bahaya. Nah, ini saya khawatirnya tidak diterangkan secara terbuka dan transparan, secara jujur kepada Presiden," tutur Zulfan.

Politisi Nasdem ini mengata­kan, pihaknya akan mengajukan hak interpelasi kepada pemerin­tah terkait latar belakang pener­bitan PP. Dewan akan mengorek rencana pemerintah terkait strategis dan kebijakan mengenai hal yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Menurut Zulfan, perlu ada kajian serius mengenai PP yang mendelegasikan pemerintah bisa menjual saham dari BUMN.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas Nasrullah Zubir menyebut PP 72/2016 berbahaya terhadap kepentingan negara. Pasalnya, aset BUMN bisa dialihkan ke perusahaan swasta atau asing kapan saja tanpa pengawasan.

Inas mencontohkan aset perusahaan seperti PT Pertamina (Persero) yang nota bene BUMN bisa saja dialihkan ke perusahaan asing, seperti PT Chevron Indonesia dengan mekanisme penyertaan modal negara (PMN).

Sebelumnya, Anggota BPK, Achsanul Qasasih memper­tanyakan materi PP Nomor 72/2016. Dia menilai, regulasi itu membuka peluang penyalah­gunaan wewenang karena lepas­nya kontrol dewan.

"Kok jadi seperti itu ya? BUMN itu adalah keuangan negara dan tunduk terhadap Undang-Undang. Semua pengurangan kekayaan negara harus mendapat persetujuan DPR," ungkapnya. Bekas Sekertaris Kementerian BUMN, Said Didu memiliki pandangan lain.

Dia mengamini bahwa ada kesan pemerintah menghindari DPR. Namun dari sisi substansi, menurutnya, tidak ada masalah. Karena, di dalam pasal 2A yang banyak dipersoalkan, pemin­dahan aset yang dibolehkan tanpa persetujuan dewan hanya BUMN ke BUMN lain. "Ka­lau sesame BUMN sama-sama masih milih negara.

"Misalnya begini, setelah Holding BUMN terbentuk maka aset-aset BUMN yang ada di bawahnya akan dialihkan dari yang sebelumnya dipegang pemerintah menjadi dipegang Holding BUMN," terangnya.

Belum ada keterangan resmi dari pemerintah terhadap maraknya protes tersebut. Se­jumlah pejabat berwenang di Kementerian BUMN yang di­hubungi Rakyat Merdeka, belum ada yang bersedia memberikan komentarnya.(rmol)