Jokowi Sebut Listrik Mahal karena Broker, Ini Tanggapan PLN

Rabu, 28 Desember 2016

ilustrasi internet

JAKARTA - riautribune : Direktur Pengadaan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Iwan Santoso mengakui masih ada perusahaan yang berniat mengambil keuntungan semata dari proyek listrik. “Saya sebut pendompleng. Ya, partner-partner itu dulu ada dalam IPP," ujar Iwan kepada Tempo, Selasa, 27 November 2016.
 
Pernyataan Iwan merespons penilaian Presiden Joko Widodo yang menyebutkan masih mahalnya harga listrik di Indonesia lantaran banyaknya beban biaya. "Saya sudah perintahkan ke Menteri ESDM, terlalu banyak broker atau orang di tengah. Benar enggak?" ucap Presiden setelah meresmikan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Minahasa, Sulawesi Utara, Selasa, 27 Desember 2016. Banyaknya perantara atau pihak ketiga membuat operasional tidak efisien.

Karena itu, bila ada beberapa orang ketiga yang terlibat dalam proyek listrik, Presiden ingin hal itu dipangkas. "Kalau di tengah satu tidak apa-apa. Tapi, kalau di tengah ada empat atau enam, itu tidak benar. Satu pun juga tidak benar kalau ngambilnya banyak," kata Jokowi.

Presiden Joko Widodo meminta PLN agar menyederhanakan lagi perizinan bagi investor yang ingin terlibat dalam proyek pembangkit listrik. Dengan begitu, diharapkan harga listrik di Indonesia bisa turun dan bersaing dibandingkan dengan negara lain.

Lebih jauh, Iwan menjelaskan, sistem tersebut biasa terjadi dalam skema pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP). Dalam proyek pembangkit, biasanya perusahaan lokal berkongsi dengan perusahaan asing sebagai penyedia teknologi.

Sering kali perusahaan lokal tersebut, ujar Iwan, tidak mempunyai kemampuan teknis. Beberapa kali PLN juga menjumpai perusahaan asing yang mempunyai masalah serupa. Sayangnya, ia enggan memberi contoh proyek yang menjadi sasaran pendompleng tersebut.

Iwan hanya mencontohkan pendompleng yang dimaksud sebelumnya seperti perusahaan yang berkali-kali memenangi tender proyek pembangkit. Namun model mesin yang dihasilkan tidak mumpuni sehingga performanya jauh dari kesepakatan PLN dengan pengembang. “Misalnya, load factor pembangkit disepakati 80 persen dari kapasitas, ternyata pembangkit hanya mampu menghasilkan sekitar 70 persen,” tuturnya.

Akibatnya, kata Iwan, PLN harus mencari sumber listrik dari energi lain yang lebih mahal, seperti bahan bakar minyak. Alasan itulah yang menurut Iwan membuat biaya pembangkit listrik menjadi lebih mahal.

Saat ini terdapat 20 persen pengembang swasta yang performa pembangkitnya di bawah standar—sebagian besar tersebar di Jawa dan Sumatera. "Kalau pembangkit yang performanya kurang ada di sistem yang defisit, lebih susah lagi," ujarnya.

Agar hal ini tak terulang, kini PLN menerapkan aturan yang lebih ketat lewat pemeriksaan laporan keuangan perusahaan peserta lelang. Perseroan juga memeriksa kelayakan teknis para peserta.(tmpo)