Gubri dampingi Menteri ESDM RI Tinjau Chevron Minas

Senin, 19 Desember 2016

foto Humas Pemprov

PEKANBARU - riautribune : Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mendampingi Menteri ESDM Ignasius Jonan mengunjungi fasilitas operasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di lapangan minyak Minas dan Duri, Provinsi Riau, Sabtu 17 Desember 2016.

Jonan menjelaskan tujuannya ke operasi lapangan minyak di Minas dan Duri mewakili 40 persen total produksi nasional minyak bumi itu untuk memantau produksi minyak.

"Operasi yang di sini, di Minas dan Duri ini, mewakili 40 persen total produksi nasional minyak bumi. Jadi, wajar kalau saya lihat ke sini," katanya di Minas, Kabupaten Siak, Riau, Sabtu petang.

Dalam kunjungannya, Jonan didampingi Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, Presiden Direktur CPI Albert Simanjutak, serta Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman dan Bupati Siak Syamsuar.

CPI mengoperasikan dua lapangan migas utama di Sumatera, yakni Duri dan Minas. Perusahaan asal Amerika Serikat itu juga mengoperasikan Pelabuhan Dumai sebagai terminal pengangkutan minyak terakhir.

Pada tahun 2015, produksi kotor CPI tercatat sebesar 255.500 barel minyak mentah per hari. Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak mengatakan bahwa produksi Minas menyumbang 20 persen dari total produksi Chevron di Indonesia.

Duri sebagai lapangan terbesar yang dioperasikan CPI, telah beroperasi menggunakan teknologi injeksi uap (steamflood) untuk meningkatkan produksi sejak 1985 dan menjadi salah satu pengembangan injeksi uap terbesar di dunia.

"Pada tahun 2015, teknologi injeksi uap diterapkan untuk pengelolaan 77 persen lapangan-lapangan di Duri," katanya. Adapun di Lapangan Minas, perusahaan tersebut terus mengoptimalkan program injeksi air (waterflood).

Pada tahun 2015, perusahaan itu melanjutkan proyek percontohan yang menggunakan proses injeksi kimia untuk EOR (enhanced oil recovery) guna meningkatkan perolehan minyak mentah ringan di Lapangan Minas dan sekitarnya.

"Kami baru di awal penerapan EOR surfaktan. Dampaknya belum ada sama sekali. Kami tentu sudah dapat hasil secara teknis, dan secara teknis menjanjikan. Akan tetapi, masih butuh pembahasan dengan pemerintah soal ini," katanya.

Lebih lanjut Albert mengatakan bahwa Lapangan Minas yang diklaim sebagai lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara itu telah menghasilkan 4,5 miliar barel per hari. Pada saat ini, produksi rata-rata Lapangan Minas sekitar 40.000 barel/hari.

Negara Lebih Untung Pakai Gross Split

Kementerian ESDM tengah menyiapkan aturan skema gross split untuk bagi hasil pada kontrak kerja sama migas atau production sharing contract (PSC). Selama ini dengan cost recovery, negara harus mengurangi bagian minyaknya lantaran biaya yang harus diganti cukup besar.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan menjelaskan, penggunaan gross split dianggap lebih menguntungkan negara. Di sisi lain, inefisiensi dari perusahaan minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja sama (K3S) tak bisa dibebankan ke negara.

Dia mencontohkan, untuk cost recovery lapangan migas di Riau yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), negara harus mengganti cost recovery sebesar hampir US$ 2 miliar per tahun atau sekitar Rp 26 triliun. Sementara APBD Riau saja di tahun 2016 sebesar Rp 11 triliun.

"Di Riau ini negara dapat 90%, Chevron dapat 10%, diklaim ke negara hampir US$ 2 miiar. Negara cuma kebagian di luar pajak US$ 350 juta," kata Jonan di kantor operasional Lapangan Minas, PT Chevron Pacific Indonesia, Kabupaten Siak, Riau, Sabtu (18/12/2016).

Menurut dia, skema cost recovery akhirnya malah membuat SKK Migas harus berdebat dengan K3S soal biaya mana saja yang bisa diganti negara.

"Kamu beli martabak ditanya ini biayanya berapa, kenapa naik, karena ganti pentil, bannya bocor. Kenapa harganya naik lagi, karena (pedagangnya) ganti kaos kaki baru. Jadinya debat, wis pokoknya nggak banyak debat deh," ujar Jonan.

Sebagai gambaran, saat ini dengan skema bagi hasil minyak antara negara dan K3S misalnya adalah 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor (85:15).

Selain mendapatkan bagian sebesar 15%, kontraktor juga mendapat cost recovery dari negara. Cost recovery dipotong dari minyak bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas dan harus diganti oleh negara.

Sedangkan bila menggunakan gross split, misalkan bagi hasil antara negara dan kontraktor 50:50, maka bagian kontraktor adalah 50% dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery.

Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 50%, tidak dipotong cost recovery. Peraturan Menteri (Permen) ESDM soal gross split ini sedang dibahas.(antr)