Status Ketahanan Pangan di Provinsi Riau

Rabu, 30 November 2016

Pertemuan dan Validasi data Statistik Ketahanan Pangan.(BPK Riau)

PEKANBARU-riautribune: Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian di suatu negara harus tercermin oleh kemampuan negara tersebut dalam memenuhi ketahanan pangan penduduknya. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 

Defenisi ketahanan  tersebut mempunyai arti yakni akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan setiap waktu untuk hidup sehat, dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat. Artinya pemenuhan pangan bukan hanya untuk memenuhi hak asasi setiap rakyat atau hanya sebagai kewajiban moral saja, tetapi juga merupakan investasi ekonomi maupun sosial dalam rangka pembentukan generasi yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Peningkatan  ketahanan  pangan  merupakan  salah  satu  program utama nasional sejak satu dasawarsa terakhir. Hal ini juga terkait dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu penanda-tangan kesepakatan dalam MDGs yang menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Sasaran program ketahanan pangan 2009- 2014, diantaranya 1) Dipertahankannya ketersediaan energi per kapita minimal 2.200 kkal /hari dan penyediaan protein minimal 57 gram /hari; 2) tercapainya kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor pola pangan harapan (PPH) mengalami peningkatan 1,75 % per tahun, 3) berkurangnya jumlah penduduk rawan pangan kronis ( < 70 % AKG, termasuk balita dan ibu hamil kurang gizi) dan penduduk miskin 0,5 % per tahun (DKP, 2011)

Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat dengan basis di tingkat rumah tangga, terutama di tingkat pedesaan. Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri atas subsistem penyediaan, subsistem distribusi, dan sub sistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan, serta didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam (tanah, air, perairan darat dan laut), kelembagaan, budaya dan teknologi, yang digerakkan oleh kekuatan masyarakat yang ditopang fasilitasi pemerintah.

Implementasi beberapa kebijakan ketahanan pangan yang belum padu dan bersinergi dengan kebijakan pembangunan lainnya, menyebabkan kondisi ketahanan pangan di Indonesia saat ini masih menghadapi ancaman yang tidak ringan. Tingkat ketahanan pangan di Indonesia saat ini berada dipersimpangan, apakah akan mampu menuju negara berketahanan pangan tinggi dari seluruh ketiga dimensi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas harga; atau tidak mampu mengikuti irama mencapai salah satu dari ketiga dimensi tersebut.

Penyediaan pangan pada tingkat nasional yang telah mencukupi kebutuhan pangan yang dianjurkan (2550 Kal/Kap/Hari dan 50 gr protein/kapita/hari) tidak berarti terpenuhinya kecukupan pangan tingkat rumah tangga. Studi Saliem et al. (2001) dalam Yunita (2011) menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan tingkat regional (provinsi) tergolong tahan pangan, namun di provinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan dengan proporsi relatif tinggi.

Angka rawan pangan merupakan gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan masyarakat yang dicerminkan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat, yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). Berdasarkan hasil analisis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan, menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir  (2010 - 2014) , di Indonesia terdapat kecenderungan menurunnya persentase penduduk yang tahan pangan atau meningkatnya penduduk yang mengalami rawan pangan atau menurunnya jumlah penduduk yang tidak tahan pangan.

Pada tahun 2010 persentase penduduk tahan pangan mencapai 53,53 % menurun menjadi 49,90 persen pada tahun 2014. Hal ini merupakan indikasi adanya penurunan ketahanan pangan rumah tangga, baik di daerah sentra produksi  pangan (suprlus pangan) seperti maupun non produksi (defisit pangan). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia merupakan negara yang tahan pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan pangan yang baik, namun tidak menjamin penduduk Indonesia menjadi tahan pangan karena masih harus melihat aspek akses dan penyerapan pangannya (Babatunde, Omotesho dan Sholotan, 2007; Akhmad Munin, 2012).  Kondisi ekologi dan lingkungan suatu wilayah, menjadi faktor bagi masyarakat untuk mempengaruhi kemampuan penduduk untuk mengatasi kekurangan pangan rumah tangganya (Mahmuti, M dkk, 2009).

Tabel Perkembangan Persentase Penduduk Tahan Pangan di Indonesia Tahun 2010 - 2014
                                           

Sumber: BKP (2015)                             
Catatan: Kategori tahan pangan : Konsumsi Per Kapita lebih dari 90 % AKG
   
Oleh sebab itu, dalam konteks pembentukan sumberdaya manusia berkualitas, ketahanan pangan menjadi faktor strategis yang selalu menarik dibahas, khususnya di Provinsi Riau. Mengingat wilayah provinsi Riau terdiri dari  12 kabupaten/kota, yang memiliki keragaman potensi sumberdaya, sosial ekonomi, budaya dan geografis sehingga mengetahui status ketahanan pangan masing-masing kabupaten/kota merupakan informasi yang sangat dibutuhkan seluruh stakeholders terkait dengan ketahanan pangan untuk menyusun program dan kegiatan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder.  Data sekunder diperoleh dari studi dokumen yang berasal dari instansi/lembaga. Data  yang digunakan adalah data time series selama 5 tahun terakhir 2010-2014. 

Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator.  Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak.  Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tidak langsung. 

Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pangan, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengotanah tanah, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial.  Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal.  Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.  Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan.  Indikator damapak secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi.

Untuk mengetahui status ketahanan pangan provinsi dilakukan dengan analisis deskriptif menggunakan tabel dan gambar. Sedangkan untuk menilai kinerja ketahanan pangan masing-masing kabupaten/kota mengunakan instrumen Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) (Peraturan Menteri Pertanian/ Ketua Harian Dewan Ketahanan  Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman SKPG. Dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Sistem Pelayanan Minimal (SPM). Instrumen tersebut merupakan bagian dari indikator penyusunan peta kerawanan pangan (FIA/FSVA). Analisis disajikan berdasarkan tiga jenis indikator yaitu (1) aspek ketersediaan; (2) aspek akses pangan dan (3) aspek pemanfaatan. Ketiga indikator tersebut diatas digabung (dikompositkan) menjadi satu informasi pangan dan gizi wilayah, dengan menggunakan tahapan sebagai berikut : Yakni Menjumlahkan ketiga nilai skor pangan, gizi dan kemiskinan. Jumlah ketiga nilai indikator maksimum 9, dan jumlah yang terendah 3. Total skor ketiga indikator (bobot) ditetapkan range : yaitu Total bobot 3-4 = Aman. Total bobot 5-6 dan tidak ada skor 3 = Waspada. Total bobot 5-9 ada skor 3 = Rawan

Hasil dan Pembahasan
Ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) ketersediaan  pangan  (food availability),  (2)  akses pangan (food access) dan pemanfaatan  pangan (food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem (Saad, 1999). Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksesibilitas pangan tergantung    pada pendapatan (usaha tani dan non usahatani), produksi dan konsumsi. Sedangkan pemanfaatan pangan   sangat tergantung  pada  nutrisi  yang  dapat  dimanfaatkan  oleh anak  maupun  dewasa.

Ketahanan pangan pada tingkat makro (dunia dan nasional) lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ketersedian pangan; sedangkan pada tingkat rumah tangga dan individu lebih banyak ditentukan oleh faktor akses terhadap pangan. Oleh karenanya, tingkat ketahanan pangan pada tingkat makro tidak menjamin keadaan  ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu.

1. Status Ketersediaan Pangan

Berdasarkan kondisi ketersediaan pangan di kabupaten/kota di provinsi Riau sebagian besar berada pada kondisi rawan, artinya produksi pangan yang ada di daerah tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan pada tahun 2015 hanya kabupaten Kuantan Singingi dan Pelalawan yang mempunyai status waspada. Disamping itu terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mengalami status rawan pada aspek ketersediaan pada tahun 2015 dibanding tahun 2013. Pada tahun 2015 terdapat 10 kabupaten/ kota yang mempunyai status rawan, sedangkan pada tahun 2013 teradapat 9 kabupaten/kota.

Aspek ketersediaan pangan dipengaruhi oleh faktor : 1) produksi, 2) luas panen, tingkat produktivitas dan diversifikasi, 3) kondisi irigasi, teknologi, kredit dan sarana produksi, 4) cadangan pangan, 5) bantuan pangan, 6) jumlah penduduk, 7) sarana dan prasarana pemasaran, 8) keadaan iklim, hama, penyakit dan bencana, 9) pasokan pangan dari luar (Patrick and Rogers, 2003). Ketersediaan pangan suatu wialyah/ daerah dipengaruhi oleh faktor produksi dan perdagangan pangan. Produksi pangan bergantung pada berbagai faktor; seperti iklim, sifat tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan pangan.

Tabel   Perkembangan Rasio dan Status Ketersediaan Pangan di Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2013 - 2015

Dalam kajian ini aspek ketersediaan pangan dinilai dari aspek produksi  serealia (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar), sehingga belum dapat menggambarkan sepenuhnya kondisi ketersediaanpangan wilayah kabupaten/kota maupun rumah tangga. Seharusnya  untuk mengetahui kondisi ketersediaan pangan wilayah adalah Neraca Bahan Makanan (NBM) atau Food Balance Sheet (FBS).

Pada tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari produksi pangan sendiri dan membeli pangan yang tersedia di pasar.  Ketersediaan pangan pada pasar lokal dan wilayah dipengaruhi oleh operasi pasar, infrastruktur, dan aliran informasi.  Ketersediaan pangan lokal dan wilayah akan sangat menentukan tingkat ketersediaan pangan rumah tangga yang bergantung sepenuhnya pada pangan yang tersedia di pasar.

2. Status  Aksesibilitas Pangan
Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi.  Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan produksi pangan, selain itu, juga tergantung pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia serta sumberdaya sosial. Akses pangan diindikasikan oleh sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal (Kariyasa dan Achmad Suryana, 2012). Gejala-gejala dini terjadinya rawan pangan diindikasikan dengan tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran dan rendahnya daya beli individu / rumah tangga terhadap pangan.

Status akses pangan di kabupaten/kota provinsi Riau pada tahun 2015 lebih baik dibanding pada tahun 2014 maupun tahun 2013. Pada tahun 2015 hanya kabupaten Kepulauan Meranti yang mempunyai status rawan, dan terdapat 5 kabupaten/kota yang mempunyai status aman. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan persentase keluarga miskin di masing-masing kabupaten/ kota.

Akses pangan (food accessability) dipengaruhi oleh : 1) akses ekonomi ( pendapatan, kesempatan kerja dan harga pangan), 2) akses fisik /isolasi daerah (sarana dan prasarana perhubungan), 3) akses social (preferensi terhadap jenis pangan, pendidikan, keberadaan konflik dan bencana (Patrick and Rogers, 2003). Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal.  Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.


Tabel Perkembangan Persentase  Keluarga  Miskin dan Status Akses Pangan di Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2013-2015


Indikator yang menggambarkan akses terhadap pangan adalah berbagai cara dan strategi ini bervariasi menurut daerah, masyarakat, kelas sosial, etnis rumah tangga, gender, dan musim sehingga penggunaannya sebagai indikator spesifik lokasi seperti: a) besar rumah tangga, merupakan prediktor yang baik bagi kecukupan kalori, total pengeluaran per kapita ,atau pendapatan per kapita ; b) tingginya rasio ketergantungan rumah tangga; c) penggunaan dan kepemilikan tanah; d) jumlah pangan yang khas; e) pengeluaran untuk pangan per kapita lebih baik dari pada total pengeluaran per kapita dan pendapatan rumah tangga (Studdert, L.C, dkk, 2010).     

3. Status  Pemanfaatan Pangan
Pemanfaatan pangan dipengaruhi oleh faktor pola makanan, kehilangan karena pemasakan, distribusi makanan dalam keluarga, besarnya keluarga, pangan yang tercecer, keadaan kesehatan, kepercayaan budaya, kepercayaan keagamaan, status sosial, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan status gizi (Harper dkk, 1996). Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan, jenis pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran, penyiapan, dan penyajian (Baliwati dan Rosita, 2004).  Konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan protein sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat terhadap pangan dan gizi (Ariani, 2006).  Data status gizi keluarga dapat mempertajam pengambilan keputusan apakah rumah tangga mengalami gangguan ketahanan pangan, karena pegukuran antropometrik dapat menjadi indikasi keadaan setelah terjadi ketidak tahanan pangan atau ketahanan pangan (DKP dan WFP, 2010)

Hasil analisis terhadap prevalensi balita kurang energi protein (KEP) diperoleh bahwa status pemanfaatan pangan dimasing-masing kabupaten /kota di provinsi Riau menunjukkan perkembangan kerarah yang lebih baik. Pada tahun 2015 tidak ditemukan kabupaten yang memiliki status waspada maupun rawan dalam status pemanfaatan pangan, sedangkan tahun 2013 dan 2014 masih terdapat kabupaten yang mempunyai status waspada (kabupaten Indragiri Hilir) dan rawan (kabupaten Kuantan Singingi (Tabel 4).

4. Status Ketahanan Pangan
Dari hasil pengggabungan ketiga indikator (dikompositkan) diperoleh bahwa pada tahun 2015, hanya  2 (dua) kabupaten yang memiliki status ketahanan pangan yang tidak rawan yakni kabupaten Pelalawan (Aman) dan kabupaten Kuantan Singingi  (Waspada). Hasil analisis menunjukkan bahwa status ketersediaan pangan kabupaten/ kota mempengaruhi status ketahanan pangan wilayah.

Sedangkan hasil analisis terhadap FIA dan FSA tersebut menunjukkan bahwa faktor ketersediaan pangan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan.  Sedangkan faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pengan di kabupaten surplus pangan pada tahun 2007. Setiap peningkatan 100 persen skor faktor akses pangan akan meningkatkan skor faktor ketahanan pangan sebesar 58,3 persen. Setiap peningkatan 100 persen skor faktor penyerapan pangan akan meningkatkan skor faktor ketahanan pangan sebesar 31,9 persen.

Untuk itu penanggulangan kerawanan pangan tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi dan penyediaan bahan pangan. Perbaikan kondisi kerawanan pangan dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.

Tabel   Perkembangan Status Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2013 - 2015



(Adv/BKP Riau)