MPR dan Pakar Hukum Riau Kaji GBHN

Jumat, 23 September 2016

foto riautribune.com

PEKANBARU - riautribune : MPR RI bekerjasama dengan asosiasi pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara Provinsi Riau untuk merencanakan pengembalian atau menghidupkan kembali Garis Besar Hukum Negara (GBHN). Sehingga GBHN kembali menjadi kewenangan MPR, bahkan MPR bisa sebagai lembaga teringgi negara.

Kegiatan ini dikemas dalam dalam focus group discussion ketatanegaraan dengan tema 'Reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dan gagasan perubahan UUD negara RI tahun 1945. Peserta yang hadir diwajibkan membuat makalah tentang tanggapannya terhadap menghidupkan kembali GBHN dan pengembalian jabatan MPR RI merupakan lembaga tertinggi di negara.

Diskusi ini dihadiri oleh Wakil ketua Badan pengkajian MPR RI, TB Sumanjaya, Anggota MPR-RI Capt Djoni Polindrawan dan Agustina Wilujeng, AP-HTN-HAN Indonesia Prof Seokowiyono dan Prof yuliandri. Semenara narasumber dari Riau yaitu,  M Husnu Abadi dan Mexasai Indra. Sedangkan peserta terdiri dari pakar hukum dari perguruan tinggi negeri dan swasa dari Riau.

"Sekarang kita ingin menghidupkan kembali GBHN. Jadi kita akan mendiskusikan tentang model GBHN itu dan menggagas perubahan UUD 1945. Setuju atau tidak setuju tentang tema ini, maka hasil dari diskusi akan kita bawa dan dibahas kembali ditingkat pusat," kata Wakil ketua
Badan pengkajian MPR RI, TB Sumanjaya, di Hotel Arya Duta, Kamis (22/9) siang.

Sementara M Husnu Abadi dalam penyampaiannya mengatakan, gagasan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Puteri unuk menghidupkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sementara gagasannya ini memperoleh jawaban beragam pendapat dari para kalangan hukum ketatanegaraan di indonesia.

Karena gagasan inni menghangatkan kembali perlunya amandemen ke lima bagi UUD NRI 1945, yang sejak lama dikemukan oleh DPR RI. Mengenai diperlukan GBHN, banyak kalangan yang sependapat, setelah melihat jalannya penyelenggaraan pemerintah yang dinilai arah tujuannya tidak jelas, bahkan disana-sini bertentangan dengan arah dan tujuan konstitusi.

"Namun yang menjadi perdebatan adalah dimanakah tempat GBHN itu? Apakah akan ditempatkan dalam sebuah ketetapan MPR, seperti sediakala, sebelum adanya amandemen UUD NRI 1945? Ataukah tempatnya cukup dalam sebuah UU saja? Hal lain yang menjadi perhatian adalah keterkaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial," kata Husnu dengan nada melemparkan jawaban kepada forum.

Sementara Mexasai Indra menegaskan setuju GBHN dihidupkan kembali dengan syarat MPR tidak sebagai lembaga teringgi negara. Namun MPR diberi kewenangan agar bisa masuk dalam perumusan GBHN. Jika MPR menjadi lembaga teringgi negara, maka melalui GBHN ini, MPR bisa masuk kedalam jebakan?

"Saya setuju GBHN dihidupkan kembali, asalkan  isi dalam GBHN benar-benar dirumuskan dengan baik. Diakui perencanaan untuk menghidupkan kembali GBHN sangat rumid. Karena GBHN sudah lama dicabut dan sekarang akan dihidupkan kembali," kata Mexasai.

Dalam diskusi, sebagian peserta menyatakan setuju dengan menghidupkan kembali GBHN dan penggasann perubahan UUD NRI 1945, namun harus dikaji perubahan ini secara teknis. Sementara ada yang tidak setuju jika lembaga MPR kembali menjadi lembaga teringgi akibat dihidupkan GBHN.(rls)