Terpidana Bisa Maju Pilkada dan Parpol Krisis Kader

Rabu, 14 September 2016

foto Anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi

JAKARTA – riautribune : Proses kaderisasi internal partai politik guna mencari calon kepala daerah berintegritas dipertanyakan. Diberlakukannya aturan terpidana hukuman percobaan bisa menjadi calon kepala daerah menunjukkan parpol tengah krisis kader.

Kaderisasi yang selama ini digemborkan parpol berjalan stagnan.

Akhir pekan lalu, pemerintah dan DPR sepakat meminta Komisi Pemilihan Umum merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan, dengan memberikan kesempatan kepada terpidana hukuman percobaan atau terpidana hukuman ringan dapat menjadi calon kepala daerah.

Ketentuan dalam peraturan itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang menyebutkan, jika calon kepala daerah harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasar putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Sekarang partai lebih confidence mengusung calon di luar kader partainya. Jadi preseden umum kalau parpol sedang krisis figur. Rekrutmen jalan terus, tapi yang bisa diterima publik dengan kualitas baik masih sangat kurang," kata Peneliti PARA Syndicate Fahri Huseinsyah saat dihubungi, Selasa (13/9/2016).

Anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengaku, proses rapat dengar pendapat saat itu berlangsung alot.

Ada dua norma yang dihasilkan yang harus dipatuhi KPU: pertama tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali culpa levis dan/atau karena melakukan tindak pidana yang hukumannya bukan pidana penjara.

Kedua, tidak sedang menjalani hukuman bebas bersyarat.

Ihsanudin Anggota Komisi II DPR Ahmad Baidowi
Fraksi PPP, kata dia, melihat adanya multitafsir dalam klausul culpa levis. Sehingga, menurut dia, harus ada pengecualian di dalam kasus-kasus tertentu.

Sebab, ada juga kasus hukum yang timbul akibat keisengan seseorang sehingga calon kepala daerah yang akan maju justru menjadi korban.

“Karena sudah menjadi keputusan rapat, kita menghormati,” ujarnya.

Meski begitu, Baidowi mempersilakan pihak-pihak yang tidak menerima putusan tersebut untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, sejumlah fraksi secara tegas menolak perubahan dalam peraturan tersebut. Mereka di antaranya Fraksi PDI Perjuangan, Hanura, dan Demokrat.

Fraksi Hanura, sebelumnya melalui kapoksi mereka di Komisi II, Rufinus Hutauruk, memberikan dukungan atas perubahan itu.(kmps)