Hadapi Olimpiade Rio, Owi/Butet Belajar dari Pengalaman

Kamis, 04 Agustus 2016

foto internet

JAKARTA - riautribune : Tontowi Ahmad tak akan pernah bisa melupakan momen Olimpiade London 2012. Ketika itu ia dan tandemnya, Liliyana Natsir, merupakan satu-satunya andalan Indonesia untuk meneruskan tradisi medali emas di kancah olimpiade.

Besarnya tekanan sebagai tulang punggung Indonesia menjadi salah satu hal yang membuat pasangan ini tak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dihentikan ole Xu Chen/Ma Jin (Tiongkok) di semifinal, Tontowi/Liliyana juga gagal menyumbang perunggu saat dikalahkan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen (Denmark).

“Saat itu kami memang berandai-andai banget, terlalu menggebu-gebu mau dapat emas. Kami menjadi harapan satu-satunya, masuk semifinal sendirian. Karena terlalu berharap, saat kalah di semifinal itu kami langsung down, padahal kami punya tugas lagi di perebutan perunggu,” cerita Tontowi seperti dikutip dari situs resmi PBSI, Kamis (4/8/2016).

“Kami seharusnya fokus di satu demi satu pertandingan, dan kalau sudah kalah di semifinal, kami harus bisa fokus untuk pertandingan selanjutnya. Tetapi kami malah tidak bisa tampil baik di perebutan perunggu, padahal rekor kami melawan Nielsen/Pedersen lumayan bagus,” tambah ayah dari Danish Arsenio Ahmad ini.

Tontowi mengaku telah banyak belajar dari kesalahan di event empat tahun lalu tersebut. Oleh karena itu, dirinya dan Liliyana tak mau lagi mengalami hal serupa ketika mentas di ajang Olimpiade Rio 2016.

Meskipun baru mengantongi satu gelar di tahun ini lewat Malaysia Open Super Series Premier 2016, namun Tontowi/Liliyana masih menjadi pasangan ganda campuran terbaik negeri ini. Selain pasangan Owi/Butet –panggilan akrab Tontowi/Liliyana-, Praveen Jordan/Debby Susanto juga jadi andalan Indonesia di Rio.(okz/rt)