Bengkalis: Negeri Tua “Tanpa” Cagar Budaya

Senin, 07 Agustus 2023

Reza Pahlevi

Oleh : Reza Pahlevi

BEBERAPA malam yang lalu, bersama Buya H Amrizal kami sejenak meluangkan waktu berkunjung dan bersilaturrahmi ke kediaman Bang Riza Pahlefi, sejarawan Bengkalis yang juga penulis buku sejarah:  Bengkalis Negeri Jelapang Padi. 

Hampir dua jam kami di sana, menjenguknya yang kebetulan dalam beberapa bulan ini beristirahat karena menjalani suatu rawatan kesehatan. Bersamanya kami panjang lebar berdiskusi, bersembang riang tentang sejarah Bengkalis, juga tentang program kerja dan hal-hal yang sepatutnya kami lakukan bersama di Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Bengkalis yang terbentuk jelang akhir 2022 lalu. 

Meski menjalani rawatan kesehatan dan waktunya banyak dihabiskan untuk beristirahat, beliau tetap rajin membaca dan menulis. Bahkan di ujung pertemuan, Bang Riza Pahlefi, pria yang akrab disapa Eja ini mengaku sudah menyiapkan sebuah tulisan berkaitan tentang sejarah di Bengkalis. Namun tulisan itu urung dipublisnya karena ia mengaku sudah jarang menggunakan sosial media (facebook) semenjak beberapa bulan ini. 

Sambil kami berdua menikmati dengan lahap sepiring ketan (pulut) yang turut disandingkan dengan selai durian yang enak, ia kembali berharap jika tulisannya itu dapat dibaca, bagi membangkitkan semangat mencintai sejarah Bengkalis, termasuk hal-hal lain yang perlu dilakukan untuk di masa-masa yang akan datang. 

Dan, tadi sore, melalui salah seorang sahabatnya, Bang Eja menitipkan pesan kepadaku agar berkenan mengunggah tulisannya itu di dinding facebook-ku. Ada rasa haru yang membuncah di hati saat membaca keseluruhan isi tulisannya kali ini, yakni tentang sejarah Bengkalis serta berbagai objek peninggalan sejarah yang harus sama-sama dirawat dan tetap diperhatikan. 

Berikut tulisan Bang Riza Pahlefi tersebut, yang menurutku patut untuk kita renungkan dan diskusikan bersama, di waktu-waktu dan di kesempatan yang lain...
____ 

Bengkalis: Negeri Tua “Tanpa” Cagar Budaya
Oleh: Riza Pahlefi*) 

Pendahuluan 

Sebagai sebuah entitas sejarah, Bengkalis telah tercatat sejak ratusan tahun lampau. Dalam berbagai literatur, negeri ini dicatat sebagai salah satu pelabuhan dagang penting di pesisir timur Sumatera. Pada masa kejayaan Melaka, Bengkalis menjadi pelabuhan penghubung pedalaman Sumatera dengan Melaka. Demikian juga ketika Melaka jatuh dan kawasan ini menjadi daerah taklukkan Johor. 

Silih berganti kuasa-kuasa di rantau ini menerajui Bengkalis. Melaka, Johor, Aceh, kembali ke Johor, Siak Sri Indrapura, Belanda, Jepang, dan terakhir menjadi bagian dari Republik Indonesia. Karena posisinya yang strategis serta berada di tepian selat yang tenang dan dalam, kuasa-kuasa tersebut disamping menjadikan Bengkalis sebagai pelabuhan perdagangan, juga sebagai titik tumpu kekuatan pertahanan mereka. 

Seperti buah tangisan beruk, negeri ini menjadi rebutan. Ketika Johor menganggap di Siak tidak diperlukan lagi mendudukkan seorang sultan, untuk mewakili kepentingannya di kawasan ini ditunjuk seorang syahbandar yang berkedudukan di Bengkalis. Demikian juga ketika Aceh bersiap menaklukkan Johor pada 1615, mereka menjadikan Bengkalis sebagai pangkal serangnya. 

Kedudukan yang strategis ini juga membuat Belanda menyimpan hasrat yang menggebu-gebu untuk menjadi yang dipertuan bagi Bengkalis. Pada 1678, Gubernur Melaka Balthasar Bort dalam memorie van overgave-nya menggambarkan Bengkalis dari kaca mata kepentingan kompeni. Menurut Bort, meskipun hanya sebuah kampung nelayan namun di Bengkalis telah menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk berdagang dan menukar berbagai jenis barang (barter) yang kemudian dibawa kembali ke pelabuhan-pelabuhan asal mereka. 

Keinginan Belanda menguasai Bengkalis tercapai setelah Siak Sri Indrapura tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda melalui perjanjian yang disepakati pada 1 Februari 1858. Dalam perjanjian yang dikenal dengan nama Traktat Siak ini, Belanda diizinkan membangun benteng di Bengkalis. Penguasaan sepenuhnya oleh Belanda terjadi pada 26 Juli 1873, ketika Sultan Syarif Kasim I bersepakat menjual Pulau Bengkalis kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan pampasan sebesar f8.000,- per tahun seumur hidupnya. 

Dalam perjalanan sejarahnya, salah satu tonggak pencapaian (milestone) Bengkalis adalah ketika dijadikan ibukota (hoofdplaat) Residensi Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1873. 

Mestinya setiap peradaban yang bertapak di negeri ini tentu meninggalkan jejak. Namun kenyataan yang ada, negeri ini seperti hadir tiba-tiba tanpa meninggalkan tapak kenangan. Memori kolektif tentang Bengkalis seperti terhapus, menghilang bersama beredarnya garis waktu. Yang tersisa hari ini adalah cebis-cebis peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar tidak terawat dan telah berubah total dari wujud semula serta rumah tradisional Melayu yang semakin ringkih dimamah masa. 

Cagar Budaya 

Menurut UU Nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 

Kata kunci dari definisi tersebut adalah melalui proses penetapan. Tanpa penetapan, tidak ada cagar budaya. Ini yang harus dicermati bersama. Ketentuan-ketentuan yang melekat pada sebuah warisan budaya yang bersifat kebendaan baru dapat ditegakkan jika sudah melalui proses penetapan sebagai cagar budaya sesuai dengan pemeringkatannya. 

Setelah ditetapkan, baru proses pelestarian dapat dimulakan yang bertujuan: pertama, melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; kedua, meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; ketiga, memperkuat kepribadian bangsa; keempat, meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan kelima, mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. 

Berdasarkan jenisnya, cagar budaya dapat berbentuk benda, bangunan, struktur, situs, dan/atau kawasan yang memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Semuanya diharapkan menjadi titian bagi menghubungkan memori kolektif masyarakat dengan masa lalunya. Cagar budaya juga dapat dijadikan alat untuk menggugah kesadaran sejarah masyarakat dan timang-timangan kenangan. 

Terasa Ada Namun Tiada 

Setiap tahun diperingati hari jadi sebagai mercu tanda bahwa telah lebih dari lima abad negeri ini memiliki peradaban. Hari jadi dijadikan simbol untuk menegaskan bahwa sudah cukup panjang titimangsa yang dirempuh. Yang tentunya mesti berbanding lurus dengan jumlah tinggalan sejarah dalam bentuk tetapan cagar budaya. 

Pada kenyataannya, hanya ada satu cagar budaya yang ditetapkan dengan rezim UU Nomor 11 Tahun 2010. Itupun ditetapkan oleh gubernur yang berarti cagar budaya tersebut adalah cagar budaya dengan pemeringkatan provinsi. 

Walau jika diselusuri lebih jauh, terdapat beberapa benda atau bangunan atau  struktur yang dianggap sebagai cagar budaya namun didasarkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1992 yang statusnya hanya terdaftar. Untuk memenuhi ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2010, yang terdaftar sebagai cagar budaya tersebut hendaknya diregistrasi dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai pemeringkatannya. 

Dipandang dengan kasat mata, sebenarnya banyak warisan budaya bersifat kebendaan yang layak ditetapkan sebagai cagar budaya. Sebagai negeri yang memiliki catatan sejarah panjang peradaban sudah semestinya memiliki tinggalan budaya yang memiliki arti penting baik bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, maupun kebudayaan. Berbagai benda yang memenuhi kriteria sebagai cagar budaya berserak tanpa terdata di tangan pemiliknya. Demikian juga benda-benda yang ditemukan melalui pencarian di beberapa lokasi tertentu, khususnya di kuala Sungai Bengkalis. Belum lagi jika berbicara tentang nisan-nisan lama (diperkirakan tinggalan dari abad ke-17 atau 18) yang sebagian berbentuk batu nisan Aceh (Aceh tombstone) berbagai tipologi yang lokasinya tersebar di seantero pulau. 

Hal sama jika mengamati tinggalan budaya dalam bentuk bangunan, baik dengan gaya arsitektur Melayu klasik yang syarat makna atau bangunan peninggalan Belanda yang kental dengan gaya kolonialisme-nya yakni bergaya neo-klasik. Tinggalan-tinggalan tersebut mencerminkan kemampuan seni bina yang ranggi masyarakat negeri ini di masa lampau dan mencerminkan pola kehidupan masyarakat semasa. 

Jika bangunan peninggalan Belanda terkonsentrasi lokasinya di kawasan kota, rumah-rumah tinggal milik masyarakat Melayu yang dibangun dengan gaya rumah Melayu klasik lokasinya tersebar di setiap pemukiman-pemukiman yang juga memiliki catatan sejarahnya sendiri. 

Hari ini, kondisi warisan budaya bersifat kebendaan yang masih ada, terbiar atau dirawat dengan kaedah yang menafikan prinsip pelestarian. Tidak sedikit objek yang diduga cagar budaya tersebut berubah wujud dan menjadi sebuah entitas serba baru yang tidak lagi memiliki arti penting. Tak terhitung kerugian yang didapat ketika sebuah entitas yang sarat dengan bukti-bukti keranggian peradaban negeri ini di masa lalu, hilang makna dan arti pentingnya. 

Namun kembali lagi ke pangkal cerita, tidak ada cagar budaya tanpa penetapan. Bagaimana dapat berbicara tentang pelestarian, pengembangan atau pemanfaatan jika penetapan belum dilakukan.  Sudah semestinya segera dimulai proses penetapan setiap objek yang diduga sebagai cagar budaya menjadi cagar budaya. Penetapan ini dapat dijadikan langkah awal dalam upaya pelestarian yang kemudian dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama - dengan berbagai cara. 

Jangan biarkan negeri ini semakin menua namun tanpa tanda-tanda. 

Konklusi dan Saran 

Sebagai negeri yang bersejarah, sepantasnya Bengkalis meninggalkan warisan budaya baik yang bersifat kebendaan maupun tak benda. Sejarah panjang yang melitupi negeri ini harus ditutur dan diperikan yang tentunya disertai bukti nyata, sehingga tidak terjebak dengan narasi “konon” dan “katanya”. 

Mengingat upaya-upaya pelestarian yang mestinya dimulai dari pendaftaran dan penetapan sebagai cagar budaya seperti terabaikan, diperlukan kerja keras dan kesamaan persepsi dari setiap pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku budaya, pemilik objek yang diduga cagar budaya, maupun masyarakat secara keseluruhan untuk menjayakannya. Menjadi tugas bersama yang dilakukan secara rampak dan holistik agar upaya-upaya tersebut berhasilguna dan berdayaguna. 

Sudah saatnya pihak-pihak yang memiliki wewenang memainkan peran dan menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam aturan perundangan. Apapun alasan yang diberikan tidak akan dapat diterima jika pembiaran ini berlarut dan terus dilakukan. Setiap benturan masalah tidak mesti membuat setiap upaya terhenti dan dijadikan pembenaran terhadap tindakan pembiaran. 

Cukup sudah negeri ini kehilangan wajah masa lalunya seiring dengan raib dan sirnanya objek-objek yang diduga cagar budaya, baik yang akibat ulah manusia maupun akibat fenomena alam yang daya rusaknya cukup tinggi jika tidak dikelola dengan baik. 

Negeri ini negeri yang berperadaban. Jangan sampai tidak ada yang dapat diwariskan. Cukup sudah jika selama ini menjadi padang jarak padang tekukur. Tanpa legasi, negeri ini hanya seperti tempat persinggahan, rehat sejenak lalu dilupakan. Tentunya tidak demikian wajah Bengkalis di masa depan yang hendak ditampilkan. Jika berterusan, di mana wajah ini akan ditempatkan di bentangan cermin sejarah. 

Wallahu’alam. 

*) Penulis merupakan Sejarawan & Ahli Cagar Budaya.