Ketua BPK: Audit Sumber Waras Final, yang Tak Tindak Lanjuti Langgar Konstitusi

Senin, 20 Juni 2016

foto internet

JAKARTA - riautribune : Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar menyatakan BPK sudah pernah mengaudit pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI yang hasilnya ada kelebihan bayar Rp 191 miliar yang harus dikembalikan ke negara. BPK tidak akan mengulang audit itu lagi.

"(Audit) sudah final. Saya tegaskan sudah final. Dan di UU apa yang dilakukan BPK tidak ditindaklanjuti berarti melanggar konstitusi," ujar Harry menjawab wartawan, usai menerima aktivis Ratna Sarumpaet, mantan Wagub DKI Prijanto dan puluhan orang dari Aliansi Gerakan Selamatkan Jakarta (AGSJ) di Ruang Arsip Gedung BPK, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin (20/6/2016). Harry ditemani Sekjen BPK Hendar Ristriawan dan anggota BPK Agus Firman Sampurna.

Kasus Sumber Waras ini mencuat setelah BPK menyebut laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014 mendapatkan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP). Salah satu indikasinya, yaitu pengadaan lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang dinilai tidak melewati proses pengadaan memadai, sehingga BPK mencatat pembelian lahan merugikan keuangan negara senilai Rp 191 miliar. KPK pun turun tangan dalam perkara ini dengan meminta BPK mengadakan audit investigasi.

Harry menegaskan, pihaknya juga tidak akan membuka hasil audit investigasi RS Sumber Waras yang diminta KPK dan telah diserahkan ke pimpinan KPK pada Desember 2015. BPK tidak berhak membukanya sebab rahasia.

"Apa yang perlu ditunjukkan? Kalau bicara soal audit investigasi itu ada di KPK. KPK yang berhak membukanya, itu rahasia. Kami tidak berhak membuka hasil investigasi, jadi kalau KPK tidak membuka, yang menutupi informasi siapa," kata Harry.

Dalam pertemuan itu, Prijanto meminta BPK bersama KPK dan Komisi III DPR mengecek ke lapangan untuk uji hak guna bangunan (HGB) Sumber Waras. BPK, KPK dan Komisi III DPR diminta untuk membawa petugas BPN untuk mengetahui batas-batas pembelian lahan tersebut.

Menanggapi ini, Harry mengatakan saat ini yang menguji kasus ini seharusnya pengadilan. Sebab pengadilan merupakan lembaga yang memegang kebenaran.

"Lembaga yang megang kebenaran itu kan pengadilan, silakan datang ke pengadilan," katanya.

Harry siap bila nantinya pengadilan menyatakan BPK bohong maka dia akan menerima akibatnya. Begitu juga dengan KPK apabila berbohong maka akan menerima akibatnya.

"Sekarang pemegang kata kebenarannya itu siapa? Pengadilan tidak ada yang lain, tidak ada orang per orang. Tidak siapa pun, tidak presiden pun. Pengadilan yang mengatakan benar," ucap Harry.

Harry tidak akan membawa kasus ini ke pengadilan karena hasil auditnya bersifat final dan mengikat. Jika kerugian negara itu tidak dibayarkan, maka kerugian negara itu akan tetap tercatat.

"Kita tidak merasa perlu (mengajukan ke pengadilan). Kalau KPK ini sekarang tidak...dan tetap akan berlaku (audit BPK). Karena sudah ada kok, kerugian negara itu sudah final dan binding. Sepanjang tidak dibenahi, tidak dibayarkan, kerugian negaranya akan tetap ada," bebernya.(dtk/rt)