Kecam Kebijakan Diskriminatif Uni Eropa, Petani Sawit Indonesia akan Gelar Aksi Unjuk Rasa

Senin, 27 Maret 2023

Gulat Medali Emas Manurung

PEKANBARU, Riautribune.com - Sikap Uni Eropa menerapkan kebijakan yang sangat memberatkan petani sawit Indonesia membuat gusar sejumlah asosiasi perkebunan kelapa sawit. Aksi unjuk rasa bakal digelar sejumlah asosiasi petani sawit sawit tersebut di depan Kantor Kedutaan Besar Uni Eropa untuk Indonesia di Jakarta pada Rabu (29/3) mendatang. 

Hal ini disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung, Minggu malam (26/3/2023). Dijelaskannya, selain Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR) Asosiasi petani kelapa sawit Sawitku Masa Depanku (SAMADE) dan Forum Mahasiswa Sawit Indonesia (FORMASI) juga ikut serta dalam aksi tersebut. 

"Selain di Kedubes Uni Eropa kita juga akan melakukan aksi di depan kantor Kementerian Luar Negeri RI.  Habis dari dua lokasi itu kami akan bergeser ke Istana Presiden untuk mengantarkan surat petani sawit,” ujar Gulat. 

Diungkapkannya, sudah lima kali petani sawit yang diwakili oleh APKASINO membuka ruang dialog dengan delegasi Uni Eropa. Bahkan Dubes Uni Eropa, Vincent Piket sudah pula meninjau langsung kebun petani sawit di Riau. 

Pada pertemuan pertama, kedua, ketiga dan ke empat kata Gulat, delegasi Uni Eropa itu selalu mengatakan bahwa regulasi mereka tidak akan menyakiti petani kecil. 

“Waktu Dubes Uni Eropa dan rombongan bersilaturahmi ke Kantor Pusat DPP APKASINDO pada 10 Februari lalu, ngobrolnya masih bagus. Kami malah masih mempelajari pasal demi pasal regulasi deforestasi Uni Eropa itu,” kenang Gulat. 

Namun dalam pertemuan selanjutnya, yang terasa malah Uni Eropa ini malah besar kepala. “Yang paling membikin petani sawit sesak nafas adalah waktu pertemuan terakhir yang difasilitasi oleh Kemenko Perekonomian pada 6 Maret 2023. Dalam pertemuan itu, delegasi Uni Eropa bilang begini; silahkan patuh kepada regulasi Eropa, maka  pasar sawit akan dibuka. Ini kan sama saja dengan mengatakan; kalau tidak patuh ya jangan masuk ke Eropa,” sesalnya. 

Sebenarnya kata Gulat, kalau regulasi Uni Eropa itu masuk akal, petani sawit Indonesia tidak keberatan, bahkan akan didukung. Tapi yang ada itu justru, UU Deforestasi Uni Eropa sangat memojokkan sawit sebagai sumber pendapatan dan masa depan keluarga petani sawit. 

Asal tahu saja kata Gulat, kajian APKASINDO menunjukkan bahwa dampak aturan Deforestasi Uni Eropa itu telah berpartisipasi menekan harga TBS petani. Sekarang saja sudah anjlok dari Rp2.950/kg menjadi Rp2.100/kg. 

Ekspor sawit ke Eropa berpotensi terhambat lantaran wajib menunjukkan sertifikasi bebas deforestasi dan ketelusuran lainnya. 

Ini menjadi sesuatu yang sangat memberatkan petani kecil. Kewajiban ini mustahil bisa dipenuhi petani lantaran butuh lembaga sertifikasi internasional dan berbiaya mahal. Intinya; ketelusuran TBS petani harus terpetakan melalui by name, by addres dan by koordinat. 

"Uni Eropa mungkin lupa kalau dari 16,38 juta hektar sawit di Indonesia, sekitar 42 persennya (6,87 juta hektar) dikelola oleh petani. Ini akan menjadi sasaran empuk dari berbagai regulasi yang diterapkan tentang hulu-hilir sawit seperti yang ada pada aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR) itu," ujar auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini. 

Karena itulah petani sawit Indonesia kata Gulat meminta keadilan. "Saya yakin, warga masyarakat Uni Eropa pasti tidak setuju jika dampak regulasi EUDR ini justru memberatkan petani sawit dan ini mengancam masa depan kami petani sawit," tegasnya. 

Meski beranggotakan 27 negara, Uni Eropa kata Gulat bukan importir nomor satu minyak sawit, tapi justru  berada di posisi keempat atau kelima. Tiongkok dan India malah menjadi pangsa pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Ekspor CPO kedua negara ini mencapai 29% dari total nilai ekspor sawit Indonesia. 

"Tapi mendiskreditkan sawit sebagai sumber penghidupan kami 17 juta petani sawit dan pekerja sawit sudah merupakan pelanggaran HAM dengan modus deforestasi. Anehnya, walau Uni Eropa sibuk mendiskreditkan minyak sawit, tapi impornya tetap stabil; di kisaran 4 juta sampai 5 juta," pungkasnya.***