Tolak Jadi Eksekutor Kebiri, Ketua DPR Sarankan IDI Ajukan Uji Materi ke MK

Selasa, 14 Juni 2016

Ketua DPR RI, Ade Komaruddin.(internet)

JAKARTA-riautribune: Ketua DPR RI menyarankan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakannya menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Aturan tersebut termaktub dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu tersebut baru akan diserahkan pemerintah kepada DPR pada pekan ini, untuk disahkan menjadi UU.

"Silahkan perjuangkan uji materi ke MK. Tidak boleh siapapun untuk menolak. Itu perintah undang-undang," kata Ade di Jakarta, Senin (13/6/2016) malam.

Di sisi lain, kata dia, perlu adanya kesepakatan antara dokter dan pasien yang melandasi tindakan dokter. Hal itu tercantum dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran.

Pasal 39 tertulis bahwa praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Ade menilai IDI harus mendahulukan undang-undang yang terakhir berlaku. "UU itu pasti yang dijalankan UU yang terakhir yang jadi patokan. Terutama UU lex spesialis. Tidak ada warga republik ini yang boleh suka-suka hati menjalankannya UU. Apalagi IDI, orang-orang pintar," ucap dia.

IDI menolak jadi eksekutor hukuman kebiri yang rencananya akan menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

"Kita tidak menentang perpu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter," ujar Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis dalam jumpa pers di Jakarta.

Marsis menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak. Namun, mereka menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.

Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dr Priyo Sidipratomo, mengatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diajak. Hal itu disebutkan dalam sumpah dokter.

"Kalau melanggar, dikeluarkan dari organisasi profesi organisasi. Dokter bertugas hanya untuk kepentingan kemanusiaan. Dalam peperangan pun, dokter harus menyelamatkan manusia, sekalipun itu musuh," kata Priyo.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengaku belum mengetahui siapa pihak yang akan menjadi eksekutor hukuman kebiri setelah IDI menyatakan penolakan. Menurutnya, eksekutor hukuman kebiri akan dibahas dan diatur lebih jauh melalui peraturan pemerintah.

"Kalau IDI tidak mau, nanti kami cari dokter yang mau," kata Yasonna, di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (16/6/2016). PP terkait teknis pelaksanaan hukuman kebiri akan dirancang setelah DPR menyetujui peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 yang salah satunya mengatur mengenai sanksi kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.(kpc/rt)