Pidato Megawati Soal 'Partai Pendompleng', Kordias: Harus Jadi Renungan Politisi Instan

Rabu, 18 Januari 2023

Kordias Pasaribu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

PEKANBARU -  Pidato Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, tentang adanya partai yang mendompleng kader partai lain, menjadi perhatian banyak pihak.

Pasalnya, dalam pidato itu Megawati mempertanyakan kualitas kader dari partai yang memberikan dukungan kepada kader PDIP. Megawati bahkan menyebut partai tersebut seperti tidak punya kader yang mumpuni.

"Sorry aduh gawat dah. Kalau kayak gini konotasinya partai kayak enggak punya kader coba bayangin padahal jelas pemilu ada calon itu ada," kata Megawati.

Dia mencontohkan di PDIP untuk menjadi kader harus mendaftar dulu ke partai. Lalu ada jenjang masuk struktur partai, kemudian menjadi calon legislatif hingga eksekutif. Maka di PDIP juga ada penggemblengan internal melalui sekolah partai.

"Jadi pertanyaan saya. Mau bikin partai untuk opo. Jangan lupa itu organisasi partai politik. Internal harus mempersiapkan. Saya enggak tahu lain partai gimana persiapkannya kalau di kita jadi kader susah," tegas Megawati.

Menanggapi pidato tersebut, politisi senior PDIP Riau, Kordias Pasaribu SH., MSi, menilai sudah selayaknya pidato Megawati tersebut menjadi bahan renungan para pelaku politik di Indonesia. Sebab, dalam politik salah satu hal yang terpenting adalah proses.

Para oknum politisi saat ini cenderung memilih berpolitik dengan jalan pintas, menurut Kordias, hal ini akan membuat mereka menjadi politisi tanpa nilai juang dan suka pindah partai. Hal tersebut akan terus memberikan dampak-dampak yang kurang baik kedepannya.

"Pemimpin yang hebat itu adalah mereka yang punya nilai juang, untuk menjadi hebat itu tidak bisa instan, karena kehebatan itu dilahirkan dari situasi-situasi sulit  kalau pemimpin tidak punya nilai juang, itulah yang kemudian muncul 'politik cengeng', karena ketika ada situasi yang mengancam posisinya, dia tidak siap, langsung panik. Beda dengan pemimpin yang sudah punya nilai juang, mereka sudah siap dalam kondisi apapun," ujar Kordias, Selasa (17/1/2023).

"Begitu juga dengan politik, ada partai yang sudah membina kadernya belasan hingga puluhan tahun, terus tiba-tiba ada partai yang tiba-tiba mendompleng untuk mendukung kader tersebut. Jadi, kapan ada proses pendidikan politik di partai yang suka mendompleng itu?" terangnya.

Partai yang suka mendompleng kader ini, kata Kordias, juga bisa dilihat dari proses pembinaan di tubuh militer, misalnya Kopassus. Untuk menjadi Kopassus ada penyaringan yang super ketat, yakni dari ribuan hanya puluhan saja yang bisa lolos.

"Setelah menjadi Kopassus, tidak bisa pula sembarangan langsung bisa pakai baret merah. Padahal baret itu kan bisa saja dibuat sendiri atau di beli di toko tapi untuk berhak memakainya, perlu pengorbanan besar, menetes keringat dan air mata untuk mendapatkan itu," tegasnya.

Di PDIP sendiri, karir tertinggi seorang kader adalah menjadi Ketua umum, kemudian karir tertinggi kedua adalah menjadi pejabat eksekutif. Tidak sembarangan orang bisa mencapai posisi tertinggi tersebut.

"Ada proses yang harus dijalani untuk mencapai itu, misalnya Pak Jokowi, kenapa bisa sampai jadi presiden? Karena telah memiliki prestasi bahkan yang belum pernah dibuat orang-orang sebelumnya, begitu juga dengan Buk Risma yang jadi Menteri Sosial, ada pula Pak Ahok, dan banyak lagi kader PDI Perjuangan yang hingga saat ini masih menempa dan mempersiapkan kader masa depan, contohnya Wali Kota Solo Mas Gibran, Wali Kota Medan, Bobby Nasution, dan lainnya," tegasnya.

Kordias sendiri pernah menjadi Ketua DPD PDIP Provinsi Riau di tahun 2015, dia merasa bangga bisa mencapai posisi tersebut, karena mendapat kepercayaan dari partai untuk menjadi pemimpin.

Diceritakan dia, saat itu pertama kalinya dia berjumpa dengan Presiden RI, Joko Widodo pada tahun 2016. Kesempatan bertemu dengan presiden tentu tak bisa diraih dengan mudah, jika tidak ada proses politik yang telah dilalui.

"Tanpa jalur politik, akan sulit saya sampai ke titik itu. Kebahagiaan saya tidak hanya itu saja, saya bahkan bisa meminta tiga hal kepada Pak Jokowi, dan ketiga itu berhasil terwujudkan," katanya.

Hal pertama yang diminta Kordias adalah aspirasi masyarakat Riau yang ingin bebas dari 'musim asap', yang sudah melanda mereka selama 18 tahun. Saat itu Presiden langsung mengintruksikan Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan, untuk menangani langsung persoalan kabut asap.

"Pak presiden juga mengambil sikap tegas, kalau ada asap, Kapolda dan Danrem diganti. Makanya, semua institusi bekerja keras, bahkan mereka punya simulasi lengkap, tiap daerah juga punya inovasi untuk bebas dari asap, dan hasilnya kita rasakan sampai sekarang," jelas Wakil Ketua DPRD Riau periode 2014-2019 ini.

Hal kedua adalah permintaan untuk pembangunan jalan tol Pekanbaru - Dumai, sebab jarak tempuh Pekanbaru ke Dumai semakin lama karena padatnya lalu lintas oleh mobil-mobil bertonase besar. Jalan Tol tersebut akhirnya dibangun dan diresmikan beberapa tahun kemudian.

Permintaan ketiga adalah mengembalikan hak kelola Blok Rokan yang selama ini dikuasai oleh asing, agar bisa dikelola oleh negara. Dan, beberapa tahun kemudian pengelolaan Blok Rokan diserahkan ke Pertamina Hulu Rokan (PHR).

"Semua itu berkat pendekatan politik, buah dari proses politik yang kami jalani. Kita orang politik ini tidak bangga dengan jabatan, tapi kita bangga kalau jabatan kita bisa memberi manfaat kepada orang lain," ulasnya.

*27 Tahun Menjadi Bagian dari PDIP*

Kordias sendiri sudah bergabung dengan PDIP sejak tahun 1997, dimana saat itu dia masih berusia 21 tahun. Keputusannya itu bermula dari kecintaannya kepada sosok Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Tak hanya dia, keluarga besarnya juga merupakan 'soekarnois'.

Diceritakan Kordias, ketika dia bergabung dengan PDIP, situasi negara sedang dalam kondisi tidak stabil, karena kemarahan rakyat atas rezim otoriter sudah dalam posisi klimaks.

"Ada banyak kerusuhan waktu saya bergabung dengan PDIP itu, ada semangat kuat dari rakyat untuk meruntuhkan rezim orde baru. Dan hanya PDIP yang berani melawan terang-terangan, keberanian PDIP itu yang buat saya mau gabung dengan PDIP," ujarnya.

Kordias bergabung dengan PDIP dari proses yang paling bawah, yakni sebagai Anggota Satuan Tugas (Satgas), setiap ada kegiatan kepartaian dia selalu terlibat, hingga akhirnya dia diberi amanah untuk jadi Komandan Satgas (Dansatgas) PAC Kecamatan Limapuluh.

"Itu saya senang sekali, namanya juga anak muda dikasih baju militer yang ada baretnya. Saya dikasih jabatan Dansatgas karena sudah berproses sebagai Anggota dan didukung sama postur tubuh yang tinggi dan besar," katanya.

Karir politiknya terus berkembang, dimana pada tahun 1999 dia diberi jabatan sebagai Wakil Ketua PAC Limapuluh, lalu menjadi Ketua PAC Payung Sekaki yang saat itu baru saja dilakukan pemekaran kecamatan di Pekanbaru.

"2005 saya jadi Ketua PAC, lima tahun kemudian saya jadi Ketua DPC PDIP Pekanbaru pada tahun 2010, dan pada tahun 2015 saya jadi Ketua DPD PDIP Riau. Saya bangga melewati semua proses itu, dan itu tidak mudah, saya melewati situasi yang sangat sulit dan harus berhadapan dengan orang yang tidak suka dengan saya, yang ingin menjatuhkan saya. Akan tetapi, itu tidak membuat saya mundur atau patah semangat, malah itulah yang menguatkan saya harus tetap berada diantara mereka , dan sekarang saya tetap kader PDIP, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk pindah ke partai lain. Karena prinsip utama dalam berpolitik adalah loyalitas tanpa batas, Merdeka," tutupnya.***