Presidensi G20 Indonesia dalam Bingkai Politik Luar Negeri “Bebas-Aktif”

Kamis, 01 Desember 2022

Oleh: Bayu Septiansyah 

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada tanggal 15-16 November dapat kita akui sebagai sebuah kesuksesan bersama, yakni Indonesia sebagai tuan rumah telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi terlaksananya KTT G20.

Keberhasilan KTT G20 di Bali dapat terlihat dari persiapan yang sangat matang hingga berjalannya acara yang dipenuhi oleh kemeriahan dan sambutan baik dari para pemimpin dunia, terlebih KTT tersebut menghasilkan “Bali Leaders’ Declaration” yang memuat 52 poin pernyataan yang merupakan pembahasan dari seluruh engagement groups yang ada.

Deklarasi tersebut pada dasarnya membahas mengenai pemulihan ekonomi dunia dan upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan seperti Pandemi Covid-19, perubahan iklim, peningkatan kemiskinan, serta hambatan dalam pembangunan global. 

Pada poin ke-37 deklarasi tersebut membahas mengenai para pemimpin G20 yang berkomitmen dalam beberapa sektor seperti perdagangan, investasi, dan industri dalam memperkuat perdagang an internasional seagai upaya menyelesaikan isu supply-chain (Kementrian Perindustrian RI, 2022).

Lahirnya Bali Leaders’ Declaration menunjukkan bahwa Indonesia berhasil memimpin dan memandu jalannya konferensi yang berfokus pada pemulihan ekonomi dunia. Keberhasilan presidensi ini didukung oleh Indonesia yang juga memiliki beberapa kepentingan dalam G20 pada aspek strategis dan praktis. 

Secara strategis, KTT ini menjadi forum untuk membahas permasalahan global kontemporer dan menunjukkan bahwa posisi serta kepemimpinan Indonesia perlu diperhitungkan dalam panggung internasional. Secara praktis, KTT ini bermanfaat dalam pembangunan domestik melalui peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta menjadi kesempatan untuk menghidupkan kembali perekonomian masyarakat (UMKM) dalam sektor pariwisata dan pendukungnya.

Peran Indonesia: Presidensi G20 "sekaligus" Agen Penjemput Perdamaian Dunia

Rangkaian persiapan dan pelaksanaan G20 pada kenyataannya mengalami berbagai tantangan, seperti konflik salah satu anggota G20 yakni Rusia dengan Ukraina yang memanas pada periode Presidensi G20 Indonesia. Pada dasarnya konflik tersebut merupakan permasalahan klasik antara Rusia dan Ukraina yang memanas kembali semenjak Ukraina ingin bergabung dengan NATO, hingga saat ini Russia’s Federation Council telah melakukan aneksasi terhadap 4 wilayah Ukraina pada 4 Oktober 2022 seperti yang Rusia lakukan pada Krime pada 2014 silam (Hidriyah, 2022).

Keadaan ini menjadi permasalahan dunia dikarenakan konflik tersebut berpengaruh pada perekonomian dunia, sehingga Indonesia sebagai presidensi dituntut perannya untuk berkontribusi dalam upaya damai konflik terkait.

Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Moskwa untuk menemui Vladimir Putin pada 30 Juni 2022 setelah sebelumnya bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymir Zelensky, pada pertemuan tersebut Indonesia memberikan pengertian kepada kedua negara untuk menghentikan konflik yang terjadi mengingat beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh dunia.

Pada kunjungan tersebut Jokowi juga memberikan undangan langsung kepada Ukraina dan Rusia untuk hadir dalam KTT G20 di Bali, hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia melakukan upaya-upaya positif untuk menghentikan konflik bersenjata yang terjadi di antara kedua negara dengan tujuan untuk mempertahankan stabilitas dunia.

Bagaimana dengan Relevansi Politik Luar Negeri "Bebas-Aktif"?

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Indonesia menganut prinsip “Bebas-Aktif” sebagai Politik Luar Negerinya. Pada rangkaian persiapan hingga pelaksanaan G20 di Bali menunjukkan keaktifan Indonesia dalam upaya pembangunan dunia.

Pengaruh dari adanya invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina, negara-negara dunia barat yang tergabung dalam NATO meminta agar Indonesia tidak mengundang Rusia pada KTT di Bali. Indonesia menolak permintaan tersebut dan memutuskan untuk tetap mengundang Rusia pada KTT G20 di Bali, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia secara sadar tidak ingin digiring untuk condong kepada kekuatan barat dan memutuskan hubungan Indonesia dengan Rusia. 

Pada akhirnya Indonesia tetap mengundang Rusia untuk hadir dalam KTT G20, namun keadaan ini tidak bermakna bahwa Indonesia condong ke pihak Rusia karena berfokus untuk mewujudkan stabilitas dunia. Hal tersebut ditunjukkan dengan Indonesia yang juga mengundang Ukraina yang sekarang condong ke barat untuk bergabung dalam KTT G20, pada akhirnya Indonesia tetap menjalankan politik luar negerinya yang “bebas-aktif” dengan tujuan untuk mempertahankan stabilitas dunia dan berupaya menjaga netralitas posisi Indonesia di dunia internasional.

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Dosen Ilmu Pemerintah Universitas Jenderal Achmad Yani