Hari Tani, Regenerasi Para Petani Tangguh Harus Segera Dilakukan

Ahad, 25 September 2022

Sugianto

PEKANBARU, Riautribune.com - Catatan mengingatkan Hari Tani Nasional dirayakan setiap tanggal 24 September,  oleh para petani di seluruh Indonesia.   Tanggal 24 September ditetapkan sebagai pengingat bahwa pada tanggal itu tahun 1960, Presiden Republik Indonesia Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 

Bicara Hari Tani, menurut Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Riau, H Sugianto SH, tentu saja tidak lepas kaitannya dengan yang namanya petani. 

Menurut pandangan Bung Karno Petani merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Oleh karena itu Bung Karno juga lah yang memberikan sebuah kepanjangan khusus untuk kata 'petani', yakni sebagai Penjaga Tatanan Negara Indonesia, yang disampaikan pertama kali pada tahun 1952. 

Satu persoalan besar yang perlu dijadikan percik permenungan di saat bangsa ini memperingati Hari Tani Nasional adalah masalah regenerasi petani, yang kelihatannya sudah kelap kelip menunjukan lampu merah.  "Itu sebabnya menjadi cukup relevan jika hal ini kita bahas secara sungguh-sungguh agar diperoleh jalan keluar terbaiknya," kata Sugianto. 

Di sisi lain, regenerasi petani saat ini kembali ramai dibincangkan para pihak karena semakin enggannya kaum muda untuk berprofesi sebagai petani. Hal ini, kata Sugianto, membuat para pengambil kebijakan di sektor pertanian, sedikit kebingungan untuk mencari generasi penerus yang bakal berkiprah menjadi petani di negeri agraris ini. 

Kemudian, para petani yang sekarang ini ada, rata-rata sudah berumur di atas 50 tahun. Jadi, kata dia, satu dasa warsa ke depan, mereka akan dimakan usia dan sangat sulit untuk bekerja lebih produktif. 

"Kita tidak boleh bermain-main lagi dengan urusan regenerasi petani. Sekalinya kita salah dalam menerapkan kebijakan, boleh jadi akan membawa dampak buruk bagi masa depan pembangunan pertanian di Tanah Merdeka ini," ujarnya.

Kerisauan akan adanya fenomena anak muda enggan jadi petani sebetul nya telah mengemuka sejak 40 tahun lalu. Isu yang berkembang kala itu adalah ada nya sebagian anak muda perdesaan yang lebih memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian. 

Mereka lebih memilih jadi buruh harian lepas di perkotaan dengan penghasilan yang tidak menentu, ketimbang harus bekerja menjadi petani. Kalau pun harus tinggal di perdesaan, mereka akan minta kepada orang tua nya untuk dibelikan motor agar dapat bekerja menjadi tukang ojek. Di mata kaum muda, petani bukan lagi pekerjaan yang menjanjikan. Menjadi petani tidak mungkin akan dapat hidup sejahtera. 

Kaum tani, jelas Sugianto, khusus nya mereka yang disebut petani gurem dan buruh tani adalah potret warga negara yang kondisi kehidupan nya cukup memprihatinkan. Itu pun bila tidak berkenan disebut memilukan atau mengenaskan. Kemiskinan yang menjerat kehidupannya, membuat mereka sangat sulit untuk berubah nasib. Mereka tetap sengsara dan melarat. 

"Karena itu, kita akan menolak keras jika yang diregenerasikan itu adalah petani gurem dan buruh tani. Ke depan, yang dibutuhkan bangsa ini adalah sosok petani pengusaha yang mandiri dan profesional. Kita harus mampu merubah potret petani gurem dan buruh tani ke arah yang lebih baik," tegasnya. 

Dia pun menyesalkan, mengapa Pemerintah tidak secepat nya mengeksekusi keinginan yang mulia ini. Regenerasi petani lebih tampil sebagai jargon ketimbang realisasi. Ini sebetulnya yang harus kita hindari. "Regenerasi petani harus sudah dimulai dan jangan sampai ditunda-tunda pelaksanaannya," punkasnya.***