Dokter Tolak Ngebiri Terbentur Kode Etik

Jumat, 27 Mei 2016

ilustrasi internet

JAKARTA-riautribune : Meski sudah ada aturannya, hukum kebiri bagi penjahat seks terhadap anak belum tentu berjalan mulus. Soalnya, dokter menolak mengebiri dengan alasan terbentur kode etik. Hal lain, hakim pun belum tentu mau memberi vonis tambahan semacam ini.

Keengganan dokter mengebiri tersirat dari pandangan Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Adib Khumaidi. Menurut Adib, terucap jelas dalam sumpah dokter Indonesia, bahwa tugas dokter itu menyembuhkan, bukan menyakiti.

"Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan, kalimat itu merupakan sumpah dokter," ujar Adib

Adib menceritakan, hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual anak membuat kalangan dokter serba salah. Selain bertentangan dengan sumpah dokter, para dokter merasa dilematis antara tugas utama dokter, dengan menjalani eksekusi yang ditugaskan negara.

Seperti diketahui, dokter merupakan eksekutor suntik kebiri jika hakim memutuskan penjahat seksual anak perlu diberikan hukuman tambahan. Artinya, sebagai eksekutor berarti menyakiti seseorang yang sebenarnya dalam kondisi sehat fisik. "Kita (dokter) terbentur profesi moral, dan sumpah insani. Ini kan punishment (hukuman) artinya menyakiti pasien," katanya.

Untuk itu, kata Adib, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali soal beban tanggung jawab dokter sebagai eksekutor kebiri. Misalnya, dengan membuat tim eksekusi kebiri yang tidak membebankan penuh tanggung jawab terhadap dokter.

Tidak hanya dari sisi medis, dari sisi hukum juga berbuah dilematis. Pasalnya, para hakim belum tentu mau memberikan hukuman tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual anak berupa suntik kebiri dan pemasangan chip di dalam tubuh.

Disampaikan pengamat hukum dan tata negara, Margarito Kamis, hukuman kebiri telah menambah beban hakim yakni menghukum, ditambah menyiksa. Mengebiri, dianggapnya telah merubah kodrat manusia berupa penghilangan hasrat seksual.

"Ditambah pemasangan chip di dalam tubuh, seolah pelaku itu bukan manusia. Hukuman kebiri dan chip ini sebenarnya hanya reaksi dan emosional pemerintah saja. Dalam hukum, bahaya kalau melibatkan unsur emosional," ujar Margarito

Hakim, kata Margarito, nantinya jadi penentu apakah seseorang akan dieksekusi kebiri atau tidak. Menurutnya, sulit bagi hakim menggunakan hukum tersebut. Pastinya, dalam proses persidangan, akan menuai kritik masyarakat baik pro kebiri dan tidak.

"Saya rasa hakim sulit memberikan hukum kebiri dan pemasangan chip. Tetapi, kalau memberatkan masa tahanan menjadi 20 tahun itu pasti. Kalau perlu, pemerintah tambah hukum berat dengan kerja sosial, itu lebih efektif daripada kebiri," pungkasnya.

Bagaimana sikap pemerintah? Kemarin, atau satu hari setelah Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diteken Presiden. Menkumham Yasonna Laoly menyerahkan sepenuhnya penerapan hukuman tambahan berupa kebiri dan pemasangan chip oleh dokter dan hakim di pengadilan.

Yasonna mengatakan, kalangan medis tak bisa mengelak mengeksekusi kebiri bila sudah menjadi putusan pengadilan. "Itu kan perintah hukum. Kita semua patuh hukum," katanya di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin.

Menteri Yasonna memahami dilematis dokter untuk melakukan suntik kebiri. Dijelaskan, etika seorang dokter ialah menyembuhkan, bukan memberi rasa sakit. Namun di beberapa negara masih ada yang menerapkan hukuman mati lewat cara suntikan. Hal itu, kata dia, tetap dilakukan.

Soal pemberi kewenangan vonis kebiri, kata Yasonna, akan diberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada hakim yang menyidangkan perkara tersebut di pengadilan. "Hakim di pengadilan yang menentukan. Itu hukuman tambahan. Jadi terserah hakim," katanya.

Menurut dia, hakim tentu akan mempertimbangkan tingkat penderitaan korban dan berulangnya kasus tersebut sebelum memutuskan seorang terdakwa kasus kejahatan seksual layak mendapatkan hukuman kebiri.

Hukuman kebiri itu, jelas Yasonna, akan dilakukan dengan cara memberikan suntikan cairan kimia, seperti halnya hukuman mati yang berlaku di beberapa negara. "Tentunya pula hakim tidak akan mudah memutuskan hukuman kebiri. Pasti hakim akan meminta pendapat para ahli," pungkasnya.

Sebelumnya, Rabu (25/5), Presiden Jokowi telah meneken Perppu tentang hukuman kebiri pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Di dalam Perppu, diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku.

Presiden Jokowi menyatakan pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk ke pemberatan pidana.

Sedang untuk tambahan pidana alternatif yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Presiden mengatakan penambahan pasal itu akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya.(rmol/rt)