Perempuan Baja Vokalis Senayan

Rabu, 18 Mei 2016

Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya.

Politisi Perempuan wanita kawakan dari Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) Partai Persatuan Pembangunan (Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kemerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus perempuan untuk tujuan dimaksud.

Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara.

Selain kiprahnya di dunia politik melalui Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) Partai Persatuan Pembangunan (Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.

Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam.

Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya.

Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.

Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum).

Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar Buya Hamka.

Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr A Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM).

Sumber: http://www.tokohindonesia.com