Debat Legal Standing LPPHI dan Chevron Mencuri Perhatian Pakar Lingkungan Hidup

Kamis, 19 Mei 2022

PEKANBARU, Riautribune.com - Perdebatan Legal Standing LPPHI dan PT CHEVRON yang tengah berlangsung di PN Pekanbaru, Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK), dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau (DLHK) akhirnya menarik perhatian Pakar Lingkungan Hidup, Dr Elviriadi SPI MSi untuk angkat bicara.

Melihat Kronologis Perdebatan  SKK Migas, KLHK dan DLHK Riau, dalam sidang pokok perkara gugatan Lingkungan Hidup Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) terhadap PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Elviriadi menjelaskan bahwa organisasi yang berkecimpung, berhak untuk mengajukan tuntutan.

”Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup," ucapnya.

Menurut Elviriadi, organisasi yang menaungi lingkungan hidup adalah perwakilan, sehingga membutuhkan perwakilan dalam menyampaikan tuntutan.

"Organisasi lingkungan hidup merupakan wali bagi lingkungan, dimana lingkungan hidup adalah objek yang tidak memiliki organ tubuh, sehingga tidak memiliki kecakapan dan kapasitas berbicara di luar maupun di dalam pengadilan. Oleh karena itu, lingkungan hidup dapat diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang lingkungan hidup," jelas Elviriadi

Lingkungan hidup sebagai sarana menyediakan jasa bagi penikmatan terhadap hak asasi manusia karena menurut Elviriadi bahwa hutan, tanah, air, udara, laut, atau sungai layak memiliki hak hukum dan selaras dengan kehidupan manusia.

Sebelumnya pada persidangan tanggal 7 Oktober 2021, dengan Perkara Nomor 150/PDT.G/LH/2021/PN.Pbr, yang dipimpin oleh Hakim Ketua, Dr Dahlan SH, memutuskan Lembaga Pengawas Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) sebagai Penggugat memiliki legal standing, yakni sebagai wali atau mewakili lingkungan.

Selanjutnya pada tahap mediasi LPPHI mengusulkan kepada Pihak Tergugat I (PT Chevron Pacific Indonesia), Tergugat II (SKK Migas), Tergugat III (Menteri LHK) dan Tergugat IV (Pemprov Riau cq DLHK Riau) untuk membentuk Tim Pengawas Independen yang terdiri dari unsur Akademisi dan Pakar Lingkungan.

Namun kenyataannya, para tergugat menolak untuk dibentuknya tim pengawas independen yang diusulkan oleh LPPHI.

"Ini membuktikan para tergugat tidak paham posisi LPPHI selaku penggugat yang mewakili lingkungan hidup yang memiliki hak gugat dan hak konstitusional, tentunya wajar menjadi bagian tim pengawas independen pada proses pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat Pencemaran Limbah B3 PT Chevron Pacific Indonesia. (PT. CPI)," terang Elviriadi.

Kerugian yang dialami oleh penggugat (LPPHI) terhadap objek permohonan, lanjut Elviriadi, adalah sehubungan dengan kedudukan LPPHI sebagai Organisasi Lingkungan Hidup yang dalam hal ini berkedudukan sebagai wali lingkungan, sehingga juga mempunyai hak hukum, dan mewakili kepentingan hukum terhadap terpenuhinya hak warga negara sebagaimana ketentuan UUD 1945.

"Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan," paparnya.

"Bahwa terhadap ketentuan tersebut, tentunya dapat dimaknai sebagai hak materiil atau hak-hak substantif karena alam menyediakan udara yang sehat, air bersih dan makanan serta jasa lingkungan merupakan bagian disediakan alam untuk pemenuhan hak asasi," lanjut Elviriadi menjabarkan.

Oleh karena itu, untuk melindungi hak substantif tersebut, menurut Elviriadi,LPPHI dapat memperjuangkan melalui hak-hak prosedural dalam pemulihan fungsi lingkungan hidup. Salah satu hak prosedural disediakan UUD 1945 adalah hak partisipasi menyampaikan pendapat.

"Terhadap menyampaikan pendapat ataupun saran, sebagaimana Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dapat dimaknai sebagai sarana Hak kontrol LPPHI terhadap penyelenggara negara dalam berdemokrasi dan negara hukum khususnya penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," ucap Elviriadi.

LPPHI sebagai Organisasi Lingkungan Hidup yang dalam hal ini berkedudukan sebagai wali dari lingkungan untuk memperjuangkan hak konstitusional sebagaimana dalam Pasal 28H UUD 1945, yakni mencegah pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan hidup, merupakan ranah kebijakan publik.

Oleh karena itu, untuk memperoleh hak konstitusional, negara memiliki kewajiban dan tanggung-jawab untuk melindungi, menghargai dan mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana disebutkan dalam konstitusi dengan melaksanakan kewajiban hak asasi manusianya.

Permohonan LPPHI untuk membentuk Tim Pengawas Independen adalah spesifik terhadap hak konstitusional Pemohon atau kepentingan Pemohon atas lingkungan hidup sebagai organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup, unsur Akademisi dan Pakar Lingkungan dalam Tim Pengawas sebagai pertimbangan oleh perbedaan kepentingan antara masyarakat terdampak di satu sisi, dan sisi lain Akademisi dan Pakar Lingkungan serta LSM bergerak dibidang lingkungan hidup.

Elviriadi juga menjelaskan bahwa masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap Pencemaran Limbah B3 PT Chevron Pacific Indonesia memiliki kepentingan hukum secara langsung, sebatas bersifat lokal dan kepentingan sendiri.

"Seperti ganti rugi akibat tercemar minyak bumi, gangguan aliran air untuk kepentingan perikanan, perkebunan, pertanian di lahan yang dimiliki, atau gangguan lain yang merupakan akibat dari Limbah B3 yang disebabkan beroperasinya PT Chevron Pacific Indonesia," urut Elviriadi.

Sementara kepentingan Akademisi atau Pakar Lingkungan, orang-orang yang memiliki kelebihan pengetahuan dalam bidang lingkungan hidup, sehingga selain sebagai pendamping masyarakat juga memperjuangkan hak-hak sebagai Akademisi dan Pakar Lingkungan.

"Karena objek yang menjadi konsen adalah lingkungan hidup. Lembaga swadaya masyarakat bergerak dibidang lingkungan (LPPHI) bersifat publik secara luas dan bersifat global, contohnya perlindungan terhadap habitat flora dan fauna, ekosistem hutan, jasa atau layanan lingkungandan lain sebagainya mencakup wilayah kerja Blok Rokan," sambung Elviriadi.

Dengan demikian, kata Elviriadi, permohonan dibentuk Tim Pengawas Independen ini sangat penting karena memiliki sifat dan jangkauan luas bersifat publik sehingga terdiri dari beberapa unsur, termasuk para Tergugat sendiri.

"Dalam hal permohonan dibentuknya Tim Pengawas Independen dikabulkan, tentu menunjukkan bahwa Majelis Hakim telah memiliki kesamaan dan konsistensi pandangan mengenai penerapan prinsip-prinsip partisipasi warga negara sebagai hak konstitusional," katanya.

"Doktrin hukum lingkungan serta pembuktian ilmiah dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan untuk memastikan tahapan pemulihkan fungsi lingkungan hidup akibat pencemaran limbah B3 PT Chevron Pacific Indonesia tidak dilakukan secara sepihak oleh Para Tergugat tanpa melibatkan stakeholder, serta mencegah semakin meluasnya tanah dan atau media lingkungan yang terkontaminasi minyak bumi PT Chevron Pacific Indonesia,” tutupnya.***