Tamparan Jelang Pelantikan

Jumat, 15 April 2016

Oleh: Mexsasai Indra Nuri
(Doktor Ilmu Hukum, Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Riau)

“...Bagaikan petir di siang hari... bagaikan layang putus dari benangnya... bagaikan langit tertutup awan... nukilan tembang lawas dari Nais Larasati, tersebut kiranya pas sebagai perumpamaan yang tepat untuk diutarakan seiring penetapan status tersangka terhadap inisial SUP (diduga Suparman) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam dugaan suap pembahasan rancangan APBD Perubahan Riau tahun 2014 dan APBD Riau tahun 2015.

Betapa tidak, status tersangka terhadap SUP disematkan oleh KPK persis 11 (sebelas) hari jelang pelantikan yang bersangkutan sebagai Bupati Rokan Hulu terpilih. Lebel tersangka itu tentunya tidak saja menjadi tamparan hebat bagi SUP secara pribadi, namun juga bagi masyarakat Rokan Hulu. Karena bagaimana pun juga meski mengedepankan asas persumption of innocence (praduga tak bersalah) tidak tertutup kemungkinan keadaan ini, akan memupus harapan masyarakat Rokan Hulu untuk mendapat nakhoda baru yang dihasilkan melalui Pilkada tanggal 9 November 2015 lalu. Dan boleh jadi ini merupakan akhir cerita dari karir politik SUP sebagai politisi Golkar. Situasi ini sekaligus mengkonfirmasi kepada publik bahwa irrasionalitas masyarakat dalam pilkada benar adanya, karena tetap saja menjatuhkan pilihan politik terhadap calon yang berpotensi tersangkut persoalan hukum.
 
Penetapan status tersangka SUP oleh KPK, menambah daftar panjang elit politik di Bumi Lancang Kuning yang berhadapan dengan lembaga anti rasuah ini. Berdasarkan pemberitaan dari berbagai media, KPK sudah menetapkan tersangka korupsi di Bumi Lancang Kuning, dengan rincian 3 (tiga) gubernur, 11 anggota DPRD, 8 (delapan) pejabat, 2 (dua) petinggi BUMN dan lainnya 1 (satu) orang.

Dalam konteks penegakan hukum, kita semua tentunya mengapresiasi langkah KPK yang tak pandang bulu. Namun dalam konteks lokalitas kepentingan Riau, kita semua tentu bertanya-tanya mengapa keadaan ini selalu saja terulang? Tidakkah langkah lesu para tersangka korupsi ketika turun dari tangga gedung KPK dengan memakai rompi orange memberikan prevensi umum terhadap elit di negeri ini?. Oleh karena itu, menjadi wajar jika KPK menjadikan Riau sebagai salah satu prioritas dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

Implikasi Terhadap Pelantikan

Penetapan status tersangka terhadap SUP, memunculkan beragam pertanyaan di ruag publik. Terutama dalam kaitan dengan pelantikan yang bersangkutan sebagai Bupati Rokan Hulu terpilih. Dalam konstruksi hukum administrasi negara pelantikan memiliki dimensi yuridis terhadap jabatan seorang kepala daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 60 Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara eksplisit menyatakan: “Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Berdasarkan konstruksi yuridis dalam ketentuan Pasal 60 UU No 23 Tahun 2014 ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hak dan kewajiban seorang kepala daerah itu baru ada ketika yang bersangkutan telah dilantik oleh pejabat yang berwenang. Hal ini sejalan dengan doktrin bevoegheid ratione tempori (kewenangan berdasarkan lingkup waktu) yang dikenal dalam khasanah hukum administrasi negara. Oleh karena itu, pranata pelantikan tidak dapat dipandang sebagai even seremonial belaka.

Dari konstruksi yuridis ketentuan Pasal 60 UU No 23 Tahun 2014, harus diciptakan keadaan hukum baru terhadap SUP dengan melakukan pelantikan terlebih dahulu. Sehingga hal tersebut tidak mengacaukan proses tahapan pilkada yang sedang berjalan. Sebab, prosesi pelantikan harus dipandang sebagai satu kesatuan tahapan pilkada yang bersifat integral.

Dalam konteks ini sebaiknya KPK tidak melakukan langkah hukum terlebih dahulu sebelum yang bersangkutan dilantik sebagai Bupati Rokan Hulu terpilih. Karena kalau KPK melakukan langkah hukum, katakanlah dengan tindakan penahanan misalnya, maka akan terjadi kekosongan hukum sebagai pijakan yuridis. Karena dalam ketentuan Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU No 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa: “Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)”.  Kemudian dalam ayat (4): “Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah”.

Dari ketentuan Pasal 65 ayat (3) dan (4) UU No 23 Tahun 2014 tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa  proses penonaktifan baru dapat dilakukan ketika yang bersangkutan telah berstatus sebagai kepala daerah. Maka mekanisme pemberhentian baru tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (3) dan (4) tersebut ketika SUP telah berstatus sebagai kepala daerah (baca: Bupati). Dan status kepala daerah tersebut, secara yuridis baru melakat ketika, SUP telah dilantik sebagai kepala daerah.

Sebab itu, akan menjadi masalah ketika KPK melakukan penahanan terhadap SUP sebelum dilakukan pelantikan. Karena yang bersangkutan masih berstatus sebagai Bupati Rokan Hulu terpilih. Oleh karena itu, akan terjadi kekosongan norma untuk memproses secara hukum administrasi negara, dan berpotensi memunculkan polemik seperti yang pernah dialami oleh Hambit Bintih Bupati Gunung Mas terpilih, namun ditahan oleh KPK sebelum yang bersangkutan dilantik.

Akhir dari tulisan ini, kita semua tentu berharap penetapan SUP sebagai tersangka menjadi prevensi umum bagi elit politik di Bumi Lancang Kuning. Ini untuk masa depan yang lebih baik, karena hanya dengan begitu kapal besar Lancang Kuning ini akan tetap bisa berlayar. Kepada SUP dan keluarga, kita harapkan semoga tabah dalam menghadapi persoalan ini. Karena bagaimanapun juga tidak mungkin Tuhan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Dan bagi masyarakat Rokan Hulu tentunya kejadian ini menjadi tamparan hebat, karena boleh jadi penetapan tersangka SUP ini merupakan starting point menghapus daulat rakyat yang telah tuan dan puan berikan tanggal 9 November 2015 lalu. Tentulah setiap kejadian ada hikmahnya. Semoga masyarakat Rokan Hulu dapat mengambil hikmah dari kejadian ini. Semoga.***