Margarito Kamis: Dugaan Pidana Harus Ada, Bukan Baru Dicari-cari

Sabtu, 13 November 2021

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis

JAKARTA, Riautribune.com - Jika tidak ada ditemukan adanya pelanggaran pidana, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk menghentikan proses penyelidikan dugaan korupsi di ajang balap mobil listrik atau Formula E di DKI Jakarta.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyebutkan, dugaan pidana itu harus bisa dipastikan ada jika penyelidikan terus dilakukan. "Hal yang standar adalah dugaan pidanannya sudah harus ada, bukan baru dicari-cari. Jadi setiap tindakan penyelidikan itu diawali dengan asumsi pidananya sudah ada," kata dia, Jumat, 13 November 2021.

Dia mengatakan, proses penyelidikan yang dilakukan KPK seperti memakai logika terbalik. Yakni, menjalankan penyelidikan dahulu, baru kemudian mencari bukti dugaan adanya pidana.

"Kalau anda mau menyelidiki sesuatu peristiwa hukum, di kepala anda peristiwa itu harus sudah memiliki aspek pidana, tinggal memperoleh bukti-bukti untuk menguatkan bahwa itu peristiwa pidana, bukan mencari-cari bukti untuk menemukan bahwa itu peristiwa pidana, jadi ini cara berpikir KPK amat terbalik, ini sangat salah," jelas Margarito.

Margarito pendapat terkait pemberian comitment fee yang akhirnya pada dua tahun belakangan Formula E tetap tidak digelar di Jakarta. Ia mengatakan jika penyebab kegagalan penyelenggaraan tersebut bukan karena hal yang dalam kendali manusia.

Karena, dua tahun terakhir terjadi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. Dengan kondisi ini, maka Pemprov DKI juga tidak bisa dimintai pertanggung jawaban.

"Karena hal yang menggagalkan peristiwa itu (Formula E) bukan hal yang disebabkan oleh manusia melainkan sebab alamiah yang nggak bisa diprediksi secara objektif. Akibat hukumnya adalah siapapun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum," lanjut Margarito.

Dia kemudian menyarankan, agar KPK untuk menghentikan penyelidikan Formula E karena nantinya juga akan mempengaruhi asumsi publik ke KPK, di mana publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu.

"Karena itu berhenti deh KPK ini, sehingga publik ini lantas menilai bahwa KPK ini disuruh siapa? Dia jadi alat politik siapa? Karena apabila ukurannya hanya untuk ramai, maka kurang ramai apa kasus PCR? Kurang ramai apa kereta cepat? Kenapa KPK diam seribu bahasa terkait kasus-kasus ini?" kata dia.