Pentingnya Konvensi Hak Anak di Indonesia

Ahad, 17 Oktober 2021

Pekanbaru, Riautribune.com - MTS Ittihadiyah Pekanbaru melakukan sosialisasi mengenai Konvensi Hak Anak secara virtual di Pekanbaru, Sabtu (16/10), yang membicarakan seputar hak anak.

Hamid Patilima yang merupakan tenaga Ahli pengembangan rumah layak anak menjelaskan Konvensi Hak Anak sudah ada sejak 1989.

"Konvensi Hak anak sudah ada sejak 25 Oktober 1989. Dimana seluruh kepala negara waktu itu sepakat tentang mewujudkan dunia yang damai, aman dan tenang lalu dunia yang tidak ada kekerasan, dan kuncinya bagaimana mereka mempersiapkan anak-anak sejak dari usia dini," jelasnya.

Sebelum tahun 1989, urusan anak merupakan urusan domestik atau hanya menjadikan urusan orang tua mereka. Namun setelah itu, urusan anak menjadi urusan publik.

"Konvensi Hak Anak di Indonesia sudah ada dari tanggal 25 Agustus 1990. Pada pemerintahan Soeharto, diterbitkan Kepres No 36 tahun 1990. Sejak saat itu konvensi hak anak menjadi kebijakan yang perlu diacuhkan dan diharmonisasi oleh pemerintah baik dalam peraturan maupun dalam bentuk kebijakan. Lalu pada masa BJ Habibie, diterbitkannya UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut ada satu bab khusus mengenai konvensi hak anak.

Jika sebelumnya, yang tercatat hanya fakir miskin dan anak terlantar yang menjadi urusan negara, maka sejak tanggal 18 Agustus 2000 pada masa pemerintahan Gus Dur. Disepakati pasal 28 ayat 2 bahwa "Setiap anak berhendak hidup, tumbuh, berkembang, serta terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Hal inilah yang menjadi awal Konvensi Hak Anak. Lalu pada masa Megawati hal ini diadaptasikan lagi melalui UU no. 23 tahun 2002. Lalu pada masa SBY UU ini dioperasionalkan menjadi kebijakan kabupaten dan kota layak anak dan yang pertama kali menguji coba kebijakan ini adalah Jokowi yang saat itu menjadi Wali Kota Solo," papar Hamid

Hamid juga mengatakan jika dalam Konvensi Hak anak tersebut menjelaskan tentang pengertian anak.

"Jika dianalogikan anak sebagai seseorang yang sedang berada di pinggir jurang. Ada 4 orang diyakini bisa menyelamatkannya. Yang pertama adalah orang tua, yang kedua adalah keluarga besar, yang ketiga para anggota masyarakat dan yang terakhir tokoh tokoh budaya," Jelas Hamid.

Hamid juga memberikan garis besar tentang siapa itu anak sebenarnya agar tidak terjadi kerancuan dalam pemaknaan.

Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Anak adalah mereka yang berada di bawah usia 18 tahun.

"Anak-anak tidak boleh mendapatkan diskriminasi. Salah satunya contoh kecil diskriminasi adalah memanggil anak dengan nama yang tidak sesuai dengan akta kelahiran, sehingga orang-orang di sekitar memanggil anak itu dengan nama yang tidak disukainya.

Hamid juga menjelaskan bagaimana langkah konvensi hak anak ini untuk bisa terus menerus dikembangkan, yaitu dengan memastikan konvensi hak anak ini dari bahasa abstrak menjadi nyata dalam kegiatan sehari-hari serta memastikan konvensi hak anak ini bisa ketahui semua orang.