Kata Jurnalis Filipina Peraih Nobel: Indonesia Membentuk Saya

Jumat, 15 Oktober 2021

Jurnalis senior FIlipina sekaligus penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa.

JAKARTA, Riautribune.com - Jurnalis senior asal Filipina sekaligus peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa, mengatakan Indonesia sangat berarti membentuk dirinya menjadi seperti hari ini.

Dalam sebuah diskusi virtual bersama media Indonesia, Ressa menceritakan dia pernah tinggal di Jakarta selama satu dekade sekitar tahun 1990-an.

Saat itu, ia bekerja sebagai koresponden CNN Internasional untuk Asia Tenggara dan banyak meliput masalah di Indonesia, termasuk menyaksikan krisis moneter 1997-1998 memporak-porandakan Indonesia.

"Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana rupiah merosot dari sekitar Rp4 ribu menjadi Rp17 ribu terhadap dolar Amerika Serikat, harga-harga makanan dan barang-barang melonjak drastis," kata Ressa pada Kamis (14/10).

Perempuan 58 tahun itu mengaku Indonesia banyak membentuk dirinya menjadi jurnalis seperti sekarang ini. Selama di Indonesia, ia mengaku banyak belajar terkait isu politik yang jauh berbeda dari Filipina dan Amerika Serikat, tempat ia tinggal dan mengenyam pendidikan selama beberapa tahun.

"Saya tumbuh besar sebagai seorang jurnalis, seorang wartawan, di Indonesia. Saya sangat mencintai Indonesia. Di sana saya belajar bagaimana menaklukkan diri sendiri, bagaimana memahami situasi yang orang lain rasakan, saya mempelajari berbagai konflik dengan cara yang belum pernah saya tangani sebelumnya," ucap Ressa.

Ressa bahkan masih ingat dirinya pernah membeli seperangkat komputer di daerah Glodok, Jakarta, dan jalan-jalan di daerah Blok M. Ressa menuturkan makanan Indonesia favoritnya adalah ayam goreng dan rawon.

Dalam diskusi itu, Ressa turut menyinggung betapa besar perubahan yang dihadapi Indonesia, terutama pasca Orde Baru. Menurutnya, reformasi Indonesia dari Orde Baru menuju negara demokratis patut menjadi inspirasi berbagai negara.

"Perubahan yang dialami Indonesia adalah pelajaran lainnya. Anda ingat, selama 32 tahun Anda dipimpin Suharto, dan setelahnya, Anda selalu punya presiden baru. Setiap lima tahun Anda memilih presiden baru," ucap Ressa.

Nama Ressa mulai disorot ketika dirinya menjadi salah satu pendiri sekaligus CEO Rappler, media independen asal Filipina.

Perempuan itu semakin terkenal setelah dia dan medianya lantang menyuarakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Ressabahkan kerap beradu argumen dengan Duterteyang menganggap Rapplersebagai media penyebar hoaks.

Akibat sorotan medianya, Ressa dan Rappler tak jarang menjadi target ancaman. Duterte bahkan pernah secara langsung mengatakan bahwa Rappler merupakan media boneka yang "sepenuhnya milik" Amerika Serikat.

Dibawah kepemimpinan Ressa, Rappler juga menjadi subjek investigasi aparat Filipina hingga akhirnya pemerintahan Duterte sempat mencabut izin media tersebut pada 2018.

Pada 2020, perempuan 58 tahun itu juga ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.

Pada pekan lalu, Ressa dan seorang jurnalis lainnya asal Rusia, Dmitry Muratov, meraih Nobel Perdamaian 2021.

"Komite Nobel Norwegia telah memutuskan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian 2021 kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov atas upaya mereka menegakkan kebebasan berekspresi yang merupakan prasyarat bagi demokrasi dan perdamaian abadi," bunyi kicauan Twitter panitia Hadiah Nobel.*