Posisi AHY Sulit Dijatuhkan, Citra Jokowi Bisa Jadi Buruk

Jumat, 05 Maret 2021

JAKARTA - riautribune : Kisruh di internal Partai Demokrat kini telah menghantarkan pada tindakan kader untuk melengserkan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono [AHY] dengan digelarnya Kongres Luar Biasa [KLB] yang digelar di Deli Serdang, Jumat, 5 Maret 2021.

Namun, menurut Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia Denny JA Toto Izul Fatah mengatakan, posisi AHY masih cukup kuat dan agak sulit untuk dilengserkan. Hal ini memungkinkan bahwa terget KLB akan bergeser, menjadi memecah Demokrat dalam buku yang baru.

“Saya kok melihat posisi AHY ini masih cukup sulit untuk dijatuhkan karena dukungan mayoritas pengurus. Makanya, target KLB bergeser, yang penting ada dua kubu kepengurusan partai Demokrat,” kata Toto, seperti dikutip dari Republika.co.id, Jumat 5 Maret 2021.

Pergeseran target itu, kata Toto, terjadi karena para penggagas KLB Demokrat melihat posisi AHY sebagai ketua umum masih cukup kokoh. AHY masih didukung mayoritas pengurus, baik pusat, DPD, maupun DPC.

Meskipun, tidak tahu, apakah loyalitas para pengurus itu bertahan hingga KLB benar-benar digelar atau berakhir ‘masuk angin’ lewat ‘operasi sunyi’ oknum kekuasaan. Namun yang pasti, menurut dia, selain faktor dukungan yang masih relatif solid kepada AHY, KLB juga akan terkendala dengan legitimasi. Merujuk pada AD/ART partai, salah satu syarat sah KLB itu harus atas persetujuan Majelis Tinggi Partai.

Selain itu, kata Toto, KLB juga baru dianggap sah jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah DPD dan 1/2 dari jumlah DPC. Kalau merujuk pada ketentuan konstitusi partai, KLB tersebut pasti kehilangan legitimasi. Sebab, tak mudah buat panitia KLB untuk memenuhi syarat tersebut. “Apalagi, adanya ketentuan yang mengharuskan adanya persetujuan Majelis Tinggi Partai,” ujarnya menegaskan.

Karena itu, Toto menambahkan, hanya “jurus mabuk” yang bisa memuluskan digelarnya KLB Demokrat itu, dengan segala risiko buruk yang akan diterimanya. Salah satunya, kehilangan legitimasi publik karena dianggap melakukan praktik politik yang tidak seharusnya.

Dia menilai, tindakan ini bahkan akan berimbas pada citra Presiden Jokowi yang menjadi buruk, lantaran ‘praktik politik tak sehat’ bermuara pada keputusan pemerintah lewat Menkumham untuk melegalkan hasil KLB.

Oleh sebab itu, untuk menjawab berbagai spekulasi itu, menurut Toto, akan terlihat pada sikap pemerintah, khususnya Presiden Jokowi. Apakah pemerintah “menikmati” kemelut internal partai yang didirikan SBY ini atau bersikap tegas. Misalnya, dengan tidak memberi lampu hijau, apalagi restu terlaksananya KLB tersebut.

“Tentu, yang paling vulgar dan kasar, jika pada saatnya nanti, ternyata Demokrat hasil KLB ini yang akhirnya diakui pemerintah. Lebih-lebih jika tokoh yang selama ini heboh dituding terlibat merancang KLB, yakni Moeldoko, terpilih sebagai ketua umum. Pasti dengan mudah publik menyimpulkan, Istana-lah yang ternyata otak di balik KLB,” ungkapnya.

Dalam konteks inilah, Toto mengingatkan pemerintah untuk segera merespons KLB ini dengan menunjukkan sikap tegas tidak berada di antara dua kubu yang sedang konflik. Sikap itu penting agar pemerintah tidak menjadi bagian yang dapat memicu terjadinya perpecahan bangsa yang makin parah. (bpc)