ASN Wajib Netral, Namun Jangan Buta Politik

Jumat, 16 Oktober 2020

PEKANBARU - riautribune : Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Aparatur Sipil Negara atau ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

Berdasarkan undang-undang itu, ASN memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan terutamanya perekat, dan pemersatu bangsa. ASN berorientasi sebagai pelayan masyarakat terutama dalam memainkan kapasitas terbaiknya sebagai pilar eksekutor serta transfer kebijakan dan program pemerintah kepada masyarakat.

Kini, jelang pilkada serentak Desember 2020, netralitas ASN kembali hangat diperbincangan. Banyak institusi kerap menjadikan komitmen netralitas ASN sebagai agenda kegiatannya, mulai dari ikrar-ikrar hingga gerakan yang bersifat nasional.

Baru-baru ini, MenPAN-RB, Mendagri, Kepala BKN, Ketua KASN, dan Ketua BAWASLU menyatukan persepsi dan mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020. Bahkan beberapa waktu lalu, hingga wacana pencabutan hak politik ASN dalam menggunakan hak pilihnya sempat digulirkan oleh pihak-pihak tertentu.

Agresifnya upaya ini tentu sangat beralasan. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Ketua Bawaslu RI, Abhan, S.H.,M.H. melalui seminar nasional bertajuk “Netralitas Birokrasi, Mungkinkah?” yang penulis ikuti akhir bulan September lalu, terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN pada pemilihan serentak 2020, disampaikannya, terdapat 619 temuan, 39 laporan masyarakat, 577 rekomendasi ke KASN, 4 sedang proses, dan 77 bukan termasuk pelanggaran. Jika tidak diantisipasi, angka ini dikhawatirkan akan naik. Soalnya, ada beberapa waktu lagi jelang Pilkada.

Diketahui, pada 2020 ini, 270 daerah di Indonesia akan menggelar pesta demokrasi. Beberapa kelompok dan lapisan masyarakat tentu telah berada dalam pantauan radar peserta pilkada dalam upaya menambah dan mengoptimalkan pemetaan kantong-kantong suara. Tidak terkecuali masyarakat yang berprofesi sebagai ASN.

Data yang disampaikan BKN melalui “Buku Statistik PNS Juni 2020”, terdapat 4.121.176 PNS se-Indonesia. Ini baru PNS saja, belum termasuk PPPK, hingga sampai kepada jumlah anggota keluarga inti aparatur tersebut. Dalam menjalankan tugas, ASN bersinggungan langsung dengan proses kebijakan dan kegiatan pemerintah, termasuk dalam pengelolaan keuangan. Apalagi bagi ASN yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan memiliki kewenangan teritorial dalam menjalankan tugasnya seperti camat, lurah dan sejenisnya. Ditambah lagi, jika ternyata ASN bersangkutan memiliki kapabilitas dan popularitas yang cukup baik di mata masyarakat setempat. Dapat dipastikan hal ini akan menambah daya tarik dan “nilai jual” ASN tersebut untuk masuk dan dilibatkan dalam lingkaran tim tiap masing-masing peserta di Pilkada.

Pertanyaannya, apa yang terjadi jika ASN masuk ke dalam pusaran politik praktis kemudian lantas menutup mata atas prinsip dan asas netralitas? Mengutip pernyataan MenPAN-RB, Tjahjo Kumolo, seperti dimuat Beritasatu.com awal maret lalu, Tjahjo menyatakan “Pemerintahan yang dijalankan oleh ASN yang bebas dari berbagai kepentingan, kecuali kepentingan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menjadi tugas dan fungsinya, akan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.”

Tjahjo Kumolo melanjutkan, banyak dampak akibat pemerintahan yang dipenuhi dengan ASN tidak netral. Pertama, munculnya polarisasi ASN, sehingga terdapat kelompok-kelompok berbeda dalam satu instansi. Hal ini, lanjut Tjahjo, mengganggu pola kerja penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, penggunaan fasilitas kantor yang bukan untuk kebutuhan pelaksanaan tugas melayani masyarakat, tetapi untuk kelompok tertentu. Ketiga, saling benturan kepentingan antarsatu pegawai dengan pegawai lainnya, termasuk sesama pejabat, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Keempat, ASN menjadi tidak dapat menjalankan tugasnya secara profesional. Kelima, membuka kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keenam, pemborosan terhadap keuangan negara, akibat penyalahgunaan wewenang, fasilitas dan sumber-sumber daya lainnya. “Karena itulah netralitas ASN harus dijaga dan dikendalikan.”

Perwujudan kedaulatan rakyat dalam memenuhi hak konstitusional melalui Pilkada merupakan mandat konstitusi. Rakyat menggunakan perannya, menyampaikan langsung aspirasinya dalam pemerintahan yang demokratis. Jika proses dalam mewujudkan cita-cita mulia demokrasi ini tercederai dan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengawasan, pencegahan, dan tindak lanjut, maka negara dan masyarakatlah yang akan dirugikan nantinya. Akan tiba masanya masyarakat akan mengecam karena terkena imbasnya baik disadari secara langsung maupun tidak langsung.

Tiap-tiap ASN harus mengingat dan merenungkan kembali amanah yang diberikan kepada dirinya yang berorientasi kepada kemaslahatan umat, kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Karena itu, netralitas harus dijaga dan dilaksanakan oleh seluruh ASN untuk menjaga dan menangkal politisasi birokrasi yang dapat menjauhkan kita dari pencapaian tujuan reformasi birokrasi, yaitu terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.” Pesan ini yang disampaikan Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin saat membuka acara Kampanye Virtual Netralitas ASN pada, Rabu, 7 Oktober lalu.

ASN harus mampu menjadi pionir dalam menyukseskan agenda demokrasi besar ini. Kepentingan bangsa dan negara harus diletakan sebagai pondasi dasar, dijadikan haluan langkah, dan pandangan capaian yang harus dituju bersama-sama masyarakat. ASN harus mampu menimbulkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam menggunakan hak pilihnya.

Lalu, apa sebenarnya politik itu? Mengapa ada orang bersikap antipati ada lagi yang sangat menyenangi, namun tidak sedikit pula yang apatis? Merujuk yang disampaikan Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Menurut Franz Magnis Suseno, politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan atau yang berorientasi kepada negara. Sementara itu, Politik menurut Ramlan Surbakti, akademisi sekaligus praktisi Pemilu yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada periode 2004-2007, adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menentukan kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Dari pendapat beberapa ahli dengan latar belakang ilmu hingga zaman yang variatif tersebut, didapatkan gambaran menarik. Ada pemikiran yang senafas didalamnya. Unsur-unsur seperti interaksi antara manusia sesama manusia, antara manusia dan lembaga atau organisasi tertentu yang ditekankan untuk tujuan pada kebaikan dan kepentingan bersama di suatu wilayah tertentu terkandung didalamnya. Lantas kenapa masih ada bahkan tidak sedikit yang membenci politik? Mungkin bisa saja karena ada pengalaman yang kurang mengenakkan, atau mungkin pemahaman yang masih perlu ditingkatkan.

ASN sebagai profesi yang memiliki korelasi dan intensitas tinggi dalam berinteraksi dengan politik itu sendiri dalam menjalankan tugas kesehariannya wajib memiliki kepekaan sekaligus kehati-hatian agar mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Rambu-rambu harus diperhatikan dan dipatuhi dengan seksama agar segala tindak tanduk perilaku dan kebijakan yang ditempuh tidak bias, bahkan cenderung menyalahi ketentuan yang berlaku seperti salah satunya terlibat politik praktis.

ASN berangkat dari amanah serta cita-cita mulia haluan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepekaan terhadap politik, kemampuan menjaga dan menahan diri dari godaan penyelewengan dan pelanggaran serta performa prima dalam menjalankan tugas akan mengoptimalkan ASN dalam merealisasikan fungsinya sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang terutamanya sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Juga tentunya akan menunjang ASN dalam memenuhi kompetensi yang wajib dimilikinya yakni kompetensi teknis, kompetensi manajerial, dan kompetensi sosial kultural.

ASN pada tingkatan dan posisi tertentu memiliki peran dalam perumusan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan APBD maupun APBN yang notabenenya bersumber dari uang rakyat. Bagaimana mungkin kebijakan dan kegiatan yang diambil dapat tepat guna dan tepat sasaran jika ASN tidak meningkatkan wawasan dan kepekaan terhadap sekitarnya serta masih bersikap antipati terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cita-cita politik serta proses-proses yang dilalui politik tersebut?

Tujuan mulia tersebut juga tidak akan tercapai jika jalan yang dipilih ditempuh dengan menghalalkan segala cara bahkan menabrak norma yang ada sehingga justru menciderai nilai luhur politik itu sendiri. Apalagi ASN tersebut buta dan “membutakan” dirinya terhadap nilai dan cita-cita politik yang luhur. Jangankan hendak sampai tujuan, yang ada malah saling bertabrakan. Bahkan karena kebutaannya, untuk menentukan arah pun dia tiada berdaya. Akhirnya, baik dan buruknya sistem perpolitikan itu dikembalikan kepada orang atau pihak yang menjalankannya. Menurut hemat penulis, jika norma-norma yang ada dalam politik dipedomani dan diimplementasikan dengan baik, disiplin dan penuh kesadaran moral, maka baik pula lah politik tersebut.

“Buta paling buruk adalah buta politik. Dia yang buta politik adalah dia yang tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga-harga komoditas, obat, tepung, makanan, tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan lahir pelacuran, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” Begitu kata Bertolt Brecht, seorang penyair dan dramawan Jerman.***