ASAP : HAM dan BISNIS

Senin, 30 September 2019

PEKANBARU - riautribune : Pembakaran hutan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia telah menimbulkan kabut asap pekat yang membahayakan bagi kesehatan dan jiwa  warganya.  Status Darurat Bencana Asap ( SDBA ) yang disampaikan oleh pemerintah  menjadi kurang tepat ketika peristiwa tersebut dilakukan secara sengaja dan berulangkali. seharusnya para pelaku dijerat dengan aturan kejahatan lingkungan ( Ecocide ) dan HAM   karena telah menimbulkan banyak korban jiwa dan merusak ekologi.

 

Penyegelan enam perusahaan di Riau terkait Karhutla  oleh Kementerian Lingkungan Hidup dianggap tidak adil. Negara seharusnya  menghukum para pejabat perusahaan dan sekaligus para pemberi izin dengan hukuman berat dan membayar kompensasi untuk para koban dan perbaikan lingkungan.

 

Pembakaran hutan telah menyebabkan penderitaan yang dasyat bagi masyarakat didalam negeri, terutama para wanita, anak-anak dan orang lanjut usia. Bahkan dampak asap ini juga membuat Singapore dan Malaysia mengirim nota diplomatik keberatan terhadap dampak asap karena telah membuat aktivitas warganya terganggu.

 

Komposisi zat Asap hasil  kebakaran hutan di Indonesia mengandung gas dan partikel berbahaya. Dampaknya mengakibatkan orang sesak nafas,  kanker paru-paru dan kematian bagi bayi dan anak – anak khususnya. Gas dan partikel berbahaya dari asap kebakaran hutan tersebut banyak mengandung karbon organik yang berbahaya. Di udara komposisinya mencapai 80 persen, sisanya karbon jenis lain, Karbon itu seperti gas karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), nitrogen oksida (NOx), dan karbon monoksida (CO). ( Puji Lestari, Dosen Teknik Lingkungan ITB ).

 

Indikator zat berbahaya tersebut pararel dengan Indikator kualitas udara yang dilaporkan oleh  Air Quality  Index ( AQI )  yang menunjukkan  kualitas udara di Riau berada pada angka 300 masuk kategori berbahaya. Sedangkan  Jakarta sebagai Ibukota level kualitas udaranya berada pada  150 ( tidak sehat ) dan Sukabumi 70 ( normal ).

 

Mengapa polusi udara menjadi perhatian Dewan HAM PBB ?  laporan data WHO  memperkirakan bahwa antara 6 dan 7 juta orang meninggal sebelum waktunya setiap tahun sebagai akibat dari pencemaran udara ini, 600 ribu diantaranya adalah anak-anak. Mr. Knox, Pelapor Khusus PBB terkait HAM dan Lingkungan  menyampaikan secara tegas dalam Sidang Umum Human Rights Council  ke-40 pada tanggal   25 February 2019 , agar setiap  negara-negara untuk mengambil tindakan nyata dalm meningkatkan kualitas udara guna memenuhi komitmen mereka dalam penegakan HAM dan SDG’s 2030. Tagar # Beat Pollution menjadi tema utama peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia 2019 di Tiongkok Juni lalu.

 

Hak Asasi manusia  adalah bagian penting  dari tujuan pembangunan berkelanjutan  ( SDG’s ) . Dimana faktor  kualitas udara menjadi salah satu yang berpengaruh untuk  mendukung tercapainya  tujuan SDG’s 2030.  Misalnya target 3,9 untuk mengurangi kematian dan penyakit akibat polusi; target 7.1 pada akses universal ke layanan energi modern dan 7.2  pada peningkatan penggunaan energi terbarukan; target 11,6 pada mengurangi dampak lingkungan per kapita kota; dan target 12.4 tentang lingkungan pengelolaan bahan kimia dan limbah yang baik. Untuk itu, meningkatkan kualitas udara yang baik ( sama dengan akses terhadap air bersih ) merupakan bagian dari  hak asasi manusia yang terkait dengan Poin – poin SDG’s lainnya.

 

Kualitas udara yang buruk memiliki implikasi terhadap  pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Kewajiban  terkait dengan udara bersih tersirat dalam sejumlah instrumen hak asasi manusia, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( hak atas kecukupan standar hidup), Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (hak untuk hidup) dan Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ( hak atas kesehatan).Kerusakan tanaman akibat polusi udara mengancam hak atas pemenuhan kebutahan makanan ( food security ) .

 

ASAP dan HAM

  1. Hak Kehidupan

Hak untuk hidup secara diakui dalam Universal Declaration of Human Rights.  Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2018, menyatakan: “Degradasi lingkungan, perubahan iklim dan Pembangunan yang tidak ramah lingkungan, merupakan beberapa ancaman yang paling mendesak untuk menyelamatkan  generasi sekarang dan masa depan untuk menikmati hak untuk hidup. " Seperti disebutkan sebelumnya, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian prematur setiap tahun, termasuk kematian lebih dari 600.000 anak. Ini  angka yang cukup mengejutkan dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak untuk hidup.

  1. Hak Kesehatan

Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah menetapkan juga  bahwa hak atas kesehatan diperluas ke "faktor-faktor penentu kesehatan", termasuk air minum yang aman, sanitasi yang memadai, makanan yang aman, perumahan yang memadai dan kondisi kerja serta lingkungan yang sehat. Komite juga mendorong negara-negara untuk meningkatkan upaya mereka dalam mengurangi polusi udara untuk melindungi hak asasi manus- hak dasar para penduduknyaa. Sebagaimana telah disebutkan diatas, Jumlah orang yang hak atas kesehatannya dilanggar oleh polusi udara mencapai jutaan. Sekali lagi, 90 persen dari semua orang tinggal di tempat-tempat di mana kualitas udara gagal memenuhi pedoman yang ditetapkan oleh WHO.

 

3.   Hak Anak.

Konvensi hak-hak anak  atas kesehatan, secara eksplisit mensyaratkan bahwa negara bertindak demi kepentingan terbaik anak dan mempertimbangkan "bahaya dan risiko pencemaran lingkungan" (pasal 24 (2) (c) . Ini membuat WHO menyimpulkan bahwa “anak-anak memiliki hak asasi manusia untuk menghirup udara bersih di rumah, sekolah, dan komunitas mereka”.Sementara  Komite Hak-hak Anak menyimpulkan bahwa "Negara-negara harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi bahaya dan risiko yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan setempat terhadap kesehatan anak-anak di semua lingkungan".  Dalam beberapa pengamatan, Komite telah mendesak negara untuk meningkatkan dan mempercepat tindakan untuk melindungi anak-anak dari udara yang tercemar.

 

Pada tahun 2000, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya  ( ECOSOC ) PBB  meminta Negara untuk merumuskan kebijakan nasional dengan tujuan mengurangi dan menghilangkan polusi udara. High Commissioner for Human Rights  (A / HRC / 19/34 dan Corr.1) dan  Dewan Hak Asasi Manusia  (resolusi 35/24) juga  telah menekankan pentingnya mengatasi polusi udara. Dampak pencemaran udara terhadap hak asasi manusia telah diakui berulang kali sebagai bagian dari proses peninjauan berkala terhadap pembaharuan instrument HAM.

 

Kewajiaban Negara dalam menangani Polusi Udara .

Dampak buruk dari kualitas udara terhadap kepatuhan pemenuhan hak asasi manusia telah menimbulkan tugas-tugas yang luas dari negara untuk mengambil tindakan segera untuk melindungi warganya dari dampak tersebut. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada 2017, sejumlah pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan “ancaman ( polusi udara )  seperti ini tidak bisa lagi diabaikan. Negara memiliki tugas untuk mencegah dan mengendalikan paparan polusi udara beracun dan untuk melindungi dampak buruk terhadap implementasi hak asasi manusia


Prinsip-prinsip kerangka kerja tentang hak asasi manusia dan lingkungan menjelaskan tiga kategori kewajiban Negara: kewajiban prosedural, substantif, dan kewajiban khusus terhadap mereka yang berada dalam situasi rentan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip kerangka kerja berikut ini dapat dioperasionalkan dalam konteks pencegahan polusi udara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.

1. Kewajiban prosedural Negara : sehubungan dengan hak untuk menghirup udara bersih termasuk tugas yang berkaitan dengan mempromosikan pendidikan dan kesadaran publik; menyediakan akses ke informasi; memastikan kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul; memfasilitasi partisipasi publik dalam penilaian proyek yang diusulkan, kebijakan dan keputusan lingkungan; dan memastikan akses terjangkau, tepat waktu ke solusi.

2. Kewajiban substantif, negara tidak boleh melanggar hak untuk menghirup udara bersih melalui kebijakan yang dibuatnya; negara harus melindungi hak – hak warganya  agar tidak dilanggar oleh pihak ketiga, terutama bisnis; dan harus menetapkan, menerapkan, dan menegakkan hukum tanpa diskriminasi.

3. Ada tujuh langkah kunci yang harus diambil oleh Negara dalam memenuhi hak untuk menghirup udara bersih: memantau kualitas udara dan dampaknya terhadap kesehatan manusia; menilai sumber polusi udara; membuat informasi tersedia untuk umum, termasuk rekomendasi kesehatan masyarakat; menetapkan undang-undang, peraturan, standar, dan kebijakan kualitas udara; mengembangkan rencana aksi kualitas udara di tingkat lokal, nasional dan, jika perlu, regional; menerapkan rencana aksi kualitas udara dan menegakkan standar; dan mengevaluasi kemajuan dan, jika perlu, memperkuat rencana untuk memastikan bahwa standar terpenuhi.

Pada setiap tahap ini, Negara harus memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi lengkap dan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Upaya ekstra harus selalu dilakukan untuk menjangkau perempuan, anak-anak dan orang lain dalam situasi rentan yang suaranya terlalu sering tidak terdengar dalam proses kebijakan lingkungan. Negara-negara harus memberi perhatian khusus kepada para pembela lingkungan yang bekerja untuk melindungi hak atas udara bersih

 

Bisnis  Sawit dan sektor Hutan di Riau.

 

Kebakaran yang terjadi pada Juli-Agustus telah mendorong enam provinsi di Indonesia untuk mendeklarasikan Keadaan Darurat. Provinsi Riau adalah lahan terbesar di Indonesia baik minyak kelapa sawit dan serat kayu. Periodesasi  tata kelola pemerintah yang lemah memungkinkan industri-industri ini berkembang pesat tanpa regulasi, pemantauan dan penegakan hukum yang tepat, menciptakan sektor permisif di mana perusahaan secara rutin beroperasi tanpa izin yang diperlukan, perdagangan komoditas ilegal dan melanggar undang-undang lingkungan dan HAM. Potert buramnya ekonomi lingkungan riau ini telah difasilitasi oleh korupsi. Dua mantan gubernur Riau dihukum karena korupsi, telah disuap karena secara ilegal mengeluarkan izin untuk kepentingan penebangan dan minyak kelapa sawit.

 

Kebakaran lahan yang dipicu oleh ekspansi perkebunan pada tahun 2015 membakar 140.000 ha lahan di Riau, dan menyebabkan provinsi tersebut menelan kerugian dan kerusakan setidaknya USD 1,4 miliar (bagian dari tagihan yang lebih luas $ 16 miliar untuk Indonesia). Data resmi menunjukkan bahwa Januari- Mei tahun ini, kebakaran hutan telah membakar lebih dari 40.000 hektar di provinsi ini  - angka ini cenderung melonjak karena skala krisis saat ini pada Juli-Agustus.


Berbagai Temuan DPRD lebih mencolok lagi, : Hanya 35% dari perkebunan kelapa sawit Riau yang memiliki kepemilikan lahan sah (878.000 ha dari 2,6 juta ha), sementara 65% (1,8 juta ha) adalah perkebunan yang telah menanam di dalam kawasan hutan, atau tanpa izin, atau diperluas melampaui batas. Riau mengumpulkan kurang dari sepertiga potensi pajak dari sektor hutan dan perkebunan karena meluasnya penyimpangan izin dan manipulasi angka oleh operator hilir. Mereka memperkirakan kerugian pajak tahunan sebesar Rp20 triliun (USD 1,4 miliar) per tahun (setara dengan USD 875 per rumah tangga Riau / tahun.  Pelanggaran rutin terhadap hukum lingkungan, seperti yang melindungi daerah aliran sungai.

Pada periode 2010-2018, bank memberikan sekitar US $ 5 miliar dolar pinjaman dan jasa penjaminan emisi kepada perusahaan-perusahaan dengan perkebunan kelapa sawit (52%) dan perkebunan pohon industri (48%) beroperasi di Riau. Lembaga keuangan menginvestasikan USD 1.2 miliar pada obligasi dan kepemilikan saham pada Desember 2018. Ini adalah perkiraan yang sangat konservatif karena tidak termasuk pembiayaan untuk perusahaan yang hanya memiliki operasi hilir seperti kilang, dan juga tidak menangkap sebagian besar pembiayaan untuk kelompok perkebunan milik pribadi.

 

Upaya penegakan HAM terhadap sektor bisnis  sawit mulai ditunjukan pada tahun 2018 oleh RSPO. Hal ini mulai dimasukannya indikator  HAM sebagai salah satu ketentuan yang harus di penuhi oleh para anggotanya. Pada pertemuan  Sidang Umum RSPO yang ke 15  dan Rapat tahunan ke 16 telah  menghasilkan ratifikasi dan adopsi Standar Prinsip dan Kriteria RSPO baru, untuk menghentikan deforestasi, melindungi lahan gambut, memperkuat hak asasi manusia dan tenaga kerja.

Rekomendasi :

  1. Pencabutan izin operasi dan menghukum berat para pejabat perusahaan , pemberi izin dan anggota masyarakatyang terlibat dalam Karhutla.
  2. Restorasi hutan primer dan gambut sebagai penyimpan karbon dan penyedia udara segar.
  3. Menertibkan perkebunan dan pertambangan ilegal.
  4. Mendorong penggunaan produk – produk ramah lingkungan.

 

 

Sumber :

  1. UNEP, Air Pollution in Asia and the Pacific: Science-Based Solutions (Bangkok, 2018).
  2. WHO, WHO Guidelines for Indoor Air Quality: Household Fuel Combustion (Geneva, 2014); and WHO Regional Office for Europe, Air Quality Guidelines: Global Update 2005: Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide (Copenhagen, 2006).
  3. Air quality indexs, AQICN.org
  4. Issue of human rights obligations relating to the enjoyment of a safe, clean, healthy and sustainable environment, UN General Assembly 40, New York 2019.
  5. https://www.banktrack.org/page/banks_and_palm_oil