MENELISIK PANGKAL MASALAH, MENAKAR LANGKAH SOLUSI, DINAMIKA KABUT ASAP DI RIAU

Jumat, 27 September 2019

Mardhiasyah,Shut.Mhut Akademisi Jurusan Kehutanan

Langit cerah dan udara segara kembali dirasakan oleh masyarakat Propinsi Riau beberapa hari terakhir berkat turunnya hujan. Entah itu hujan alami atau hujan buatan, turunnya hujan tentu tak semata oleh kemampuan rekayasa manusia namun atas ijin dan kuasaNya. Sebagian besar daerah di Propinsi Riau kualitas udaranya sudah lebih baik akibat berkurangnya kabut asap, namun dibeberapa daerah masih terdapat titik api yang harus dipadamkan. Selain itu titik api yang masih menyebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan juga berpotensi menambah kabut asap di Riau akibat terbawa angin. Untuk itu kewaspadaan mesti tetap dijaga.

   Menyimak dinamika kabut asap di Propinsi Riau yang terus berulang sehingga kembali terjadi pada tahun 2019 ini, penulis pun menelisik beberapa pangkal masalah yang secara garis besarnya yaitu:

  1. Kelalain para pihak.

Para pihak dimaksud adalah Pemerintah (Pusat dan Daerah), Masyarakat dan Swasta. Dalam rentang waktu 2016-2018 juga terjadi kebakaran namun tidak menimbulkan persoalan kabut asap yang serius. Kondisi tersebut membuat para pihak lalai dan terhinggap rasa sombong merasa paling mampu menanggulangi karhutla. Para ilmuan dan banyak lembaga yang berkompeten telah memprediksi 2019 akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah manusia. Namun kelalaian terus berlangsung termasuk aktifiitas yang berpotensi terjadinya kebakaran. Koordinasi para pihak dan antisipasi kewaspadaan tidak optimal dilakukan.

 

  1. Kezaliman pengelolaan sumber daya alam.

Para pengelola lahan (kawasan hutan dan bukan kawasan hutan) baik swasta, masyarakat maupun Pemerintah tidak sedikit yang tidak cermat dan zalim mengelola sumberdaya alam baik hutan, kebun dan sebagainya. Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi lindung atau konservasi dikonversi menjadi tujuan produksi. Kondisi tersebut diperparah oleh kewenangan yang diberikan pemerintah melalui ijin-ijin pemanfaatannya kepada swasta untuk mengelola lahan yang tak semestinya untuk dikelola dengan tujuan produksi. Pengelolaan yang tak sesuai kaidah dan tak ramah lingkungan membuat keseimbangan alam terganggu dan pada lahan gambut yang rusak akan berpotensi besar sebagai bahan bakar yg mudah terbakar dan sangat sulit dipadamkan serta potensial memproduksi kabut asap.

 

  1. Kesenjangan antara regulasi dan realisasi.

Banyak pihak yang tidak memahami seutuhnya regulasi yang ada sehingga tak bisa direalisasikan sebagai mana mestinya. Realisasi regulasi yang tidak sesuai harapan berdampak tidak terwujudnya tujuan dan manfaat dari regulasi tersebut. Proses penegakan hukum terhadap pelaku Karhutla belum bisa diterapkan optimal. Pengelolaan Hutan melalui skema KPH yang seharusnya optimal dalam pengelolaan hutan termasuk penanggulanngan karhutla pun belum terimplementasikan sesuai harapan. Kesenjangan regulasi dan realisasi juga terlihat pada status lahan yang menimbulkan ketidakpastian status lahan sehingga menimbulkan konflik. Konflik lahan ini berpotensi memicu terjadinya kebakaran lahan yang sulit dikendalikan.

  1. Dampak negatif dari regulasi

Tegasnya penegakan hukum yang tidak diimbangi dengan pendekatan lain seperti teknologi pengelolalan lahan tanpa bakar, berdampak pada ketakutan masyarakat mengelola lahannya. Lahan yang tak terkelola berpotensi terjadi kebakaran dan cepat menyebar sehingga sulit dikendalikan. Masyarakat Peduli Api (MPA) mengalami kecumburuan ditengah masyarakat. Tanggung jawab patroli dan pencegahan dini api dianggap hanya tanggung jawab MPA karena telah diberikan honor. Semangat kebersamaan dan gotong royong menjadi memudar. Disisi lain honor untuk MPA sangat minim dan keterbatasan dukungan sarana prasarana membuat MPA tak bisa optimal bekerja. Kawasan yang masih berijin namun sudah tidak opersional (eks HPH) tak bisa dikelola jika tidak dikembalikan ijinnya ke pemerintah sehingga menjadi lahan tak terkelola yang sulit dikendalikan jika terjadi kebakaran.

  1. Faktor iklim

Penyebab utama terjadinya kebakaran lahan tersebut adalah aktifitas/kegiatan manusia dan faktor alam. Musim kering yang panjang berdampak pada terbatasnya ketersediaan air di dalam tanah. Fakta di lapangan ditemukan bahwa ketersediaan air di lahan sangat minim bahkan boleh dikatakan tidak ada air. Kondisi tersebut sangat mempersulit proses pemadaman api apa lagi ditambah hembusan angin yang potensial penyebarluasan api.

 

Pengendalian dan penanggulangan karhutla terbukti bukanlah pekerjaan sederhana. Sangat dibutuhkan kolaborasi banyak pihak dengan pendekatan multiperspektif. Secara teoritik Strategi pendekatan pencegahan kebakaran hutan antara lain: (1) Pendekatan Klimatotologi; (2) pendekatan Silvikultur; (3) pendekatan Sosial Ekonomi; (4) pendekatan Teknik; (5) Pendekatan Tertib Hukum; (6) Metode Pemadaman langsung atau Pencegahan kebakaran. Menelisik pangkal masalahnya,dapat ditakar langkah strategi solusi jangka panjang untuk meminimalisir terjadinya kebakaran lahan antara lain:

  1. Negara harus menghadirkan kesejahteraan serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia sesuai amanah Pembukaan UUD 1945.

Jika masyarakat sudah sejahtera, maka hutan akan pandang sebagai penyangga kehidupan sehingga akan dijaga dan dikelola dengan lestari. Namun jika masyarakat belum sejahtera, maka hutan akan dipandang sebagai sumber kehidupan, sehingga hutan dan lahan akan dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi semata dan tak jarang pembakaran lahan digunakan sebagai pendekatan pengelolaan lahan. Sarana dan prasarana termasuk infrastruktur (transportasi, listrik, air dan komunikasi) adalah tanggung jawab Pemerintah agar hasil produksi pengelolaan lahan masyarakat bisa dipasarkan dengan nilai yang lebih optimal.

  1. Kejelasan dan kepastian penguasaan atau pengelola lahan.

Setiap persil lahan di Negeri ini harus jelas penguasaan dan pengelola yang bertanggung jawab terhadap lahan tersebut sehingga jika terjadi kebakaran jelas pihak yang harus bertanggunng jawab untuk selanjutnya proses penegakan hukum bisa optimal dan tepat sasaran. Sesuai amanah Undang-Undang RI nomor 41 tahun 1999  dimana dijelaskan bahwa pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan. Artinya setiap kawasan hutan yang negeri ini harusnya sudah melalui proses penetapan kawasan yang sudah jelas tata batasnya. Dengan demikian seharusnya tidak terjadi konflik lahan atau tumpang tindah kawasan yang berpotensi memicu terjadinya kebakaran pada areal konflik tersebut. Disisi lain kementerian Agraria dan Tata Ruang juga sudah memprogramkan pendaftaran penguasaan dan pengelolaan lahan. Jika regulasi dan aturan tersebut dilaksankan dengan baik, maka setiap unit lahan akan jelas status penguasaan dan pengelolaannya.

  1. Setiap lahan harus dikelola secara produktif dan lestari.

Pengelolaan lahan merupakan bagian dari upaya pemantauan dan pencegahan dini kebakaran. Lahan yang telah rusak juga harus dikelola dengan lestari melalui kegiatan rehabilitasi atau restorasi melului berbagai pendekatan seperti pembasahan kembali gambut (rewetting) dan penanaman kembali (revegetasi) lahan gambut. Jika lahan sudah terkelola, maka sangat kecil kemungkinan dibakar karena sangat sulit dilogika jika pengelola lahan membakar asetnya sendiri. Selain rugi secara ekonomi dan sosial juga berpontensi diproses hukum. Jika pun terbakar, maka akan segara dikendalikan dan dipadamkan karena cepat terdeteksi. Kecepatan pemadaman api berkontribusi pada pengurangan resiko kabut asap dan penyebarluasan api.

 

  1. Edukasi, sosialisasi dan pemberdayaan publik.

Menanamkan pemahaman pentingnya menjaga kelestarian alam dan buruknya dampak kebakaran khususnya kabut asap serta penanggulangan kebakaran, harus digerakkan ke setiap individu sejak usia dini. Mejaga alam harus dijadikan sebagai sebuah kebutuhan bukan suatu keharusan melalui program sosialisasi dan pemberdayaan publik. Penyajian data dan informasi yang resmi, akurat dan transparan diperlukan untuk menghindari kegaduhan publik akibat perbedaan persepsi. Komunikasi dan koordinasi para pihak dibutuhkan untuk penanggulangan karhutla.

 

  1. Penguatan dimensi spritual.

Apa yang terjadi selama ini dan saat ini mungkin merupakan azab Allah kepada kita akibat kezaliman kita terhadap alam dan kesombongan kita yang merasa paling berjasa atau paling berbuat untuk alam. Sejalan itu diperlukan kesabaran dan “imsyak” kita menahan diri untuk tidak saling menghujat dan berdebat melempar tanggung jawab. Pada dimensi tersebut diperlukan pertaubatan kita semua agar Allah mencabut azabNya dan melimpahkan berkah pertolonganNya.

 

Sudah tidak zamannya berkompetisi namun waktunya berkolaborasi saling bersinegis untuk hidup dan kehidupan yang lebih baik. Kolaborasi menyusun stretegi dan mengaktulisasikan dalam bentuk aksi nyata. Mengusir asap bukan berarti menjemput banjir atau sebaliknya. Rakyat sejahtera alam kelak akan lestari. Terima kasih dan apresiasi untuk semua pihak yang telah berkontribusi memanggulangi kabut asap khususnya pasukan pemadam api di lapangan.

Oleh: M.Mardhiansyah*)’

Pemerhati Kehutanan Riau serta Akademisi Jurusan Kehutanan Fakultas.Pertanian Universitas Riau

Bermastautin di Pekanbaru