DPR Usul Revisi UU, Sejajarkan Pelaku Karhutla Dengan Teroris

Senin, 23 September 2019

JAKARTA - riautribune : Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi mengusulkan untuk merevisi undang-undang yang terkait penegakan hukum pada pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Ia menyebut pelaku pembakaran hutan setara dengan teroris.

 

Menurut Yoga, penegakan hukum kepada pelaku kebakaran hutan masih lemah. Hal itu juga tampak pada pemerintah yang kerap kali kalah di Pengadilan.

 

"Selama ini, penegakan hukum untuk kasus karhutla lemah. Akibatnya pemerintah sering kalah di pengadilan. Padahal, dari sisi legislasi sudah jelas sanksi pidana dan dendanya," ujarnya melalui keterangan tertulis, Ahad (22/9/2019).

 

Yoga menyebutkan penegakan hukum untuk pelaku pembakaran hutan telah tercantum dalam Undang-Undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di Pasal 78 ayat (3) menyebutkan bahwa pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

 

Kemudian, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

 

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Pada Pasal 108 menyebutkan seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda maksimal Rp10 miliar.

 

Namun, Yoga menilai, sanksi pidana terhadap para pelaku hanya omong kosong. Justru pelaku pembakaran hutan tidak tersentuh oleh hukum.

 

"Dalam realitasnya, pasal sanksi pidana bagi oknum intelektual kasus karhutla hanya bersifat macan kertas saja, ompong, unoperational. Pelakunya tidak tersentuh hukum, kebal hukum, dan menjadi manusia setengah dewa. Negara terkalahkan oleh mereka, pengadilan bertekuk-lutut tidak berkutik," tuturnya.

 

Yoga pun mengusulkan supaya penanganan lebih serius dilakukan. Pertama, ia meminta supaya ada penambahan dana penanggulangan bencana dari pemerintah pusat. Penambahan dana itu dapat digunakan untuk program pemadaman hotspot secara cepat, penanganan gangguan kesehatan masyarakat secara manusia, serta penyelamatan plasma nutfah serta flora fauna agar tidak punah.

 

Kemudian, Pemerintah Pusat agar lebih serius meningkatkan kualitas koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah. Selanjutnya adalah merevisi peraturan perundang-undangan bahwa pelaku pembakaran hutan, melalui keputusan pengadilan, seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

 

"Levelnya sama dengan teroris. Karena bukan hanya merusak ekosistem dan lingkungan, memusnahkan plasma nutfah, juga dapat membunuh manusia," terang dia. (ckp)