Cermat Bersikap Menyikapi Kabut Asap di Riau

Sabtu, 14 September 2019

Mardiansyah SHut. MHut


Persoalan kebakaran lahan khususnya di Propinsi Riau bukanlah hal yang baru namun sudah persoalan klasik dan berulang-ulang. Meskinya tak ada kelatahan dalam mengantisipasinnya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bersibuk mengevaluasi yang bermuara pada saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Saat ini dibutuhkan kecermatan pandang dalam bersikap meski dalam gelapnya kabut asap agar tepat dan cermat mengatasi alas masalah. Tak ada asap kalau tak ada api, maka yang paling strategis dan krusial dilakukan adalah pemadaman api. Peradaban manusia mengajarkan bahwa memadamkan api paling efektif adalah dengan air bukan dengan retorika atau pencitraan belaka. Fakta di lapangan ditemukan bahwa ketersediaan air di lahan sangat minim bahkan jika tidak hiperbola boleh dikatakan tidak ada air. 

       Penyebab utama terjadinya kebakaran lahana adalah aktifitas manusia dan faktor alam. Kelalaian dan ketidakpedulian manusia (baik itu masyarakat maupun kooperasi) terhadap aktifitasnya yang berpotensi terjadinya kebakaran membuat kondisi kabut asap kembali dan berulang kali terjadi. Banyak lahan sengaja dibiarkan tak dikelola sehingga mudah terbakar. Lahan dibawah penguasaan negara dalam hal ini KemenLHK tidak dikelola dengan baik bahkan tak terurus sebagai lahan tidur. Kelalaian manusia yang merasa aman dalam rentang tahun 2016-2018 meski ada kebakaran namun tak sampai kabut asap dan anggapan ada pihak yang sudah ditugaskan pemerintah untuk memadamkan api membuat kelengahan dan ketidakpedulian sehingga potensi dan penyebarluasan api menjadi tinggi.   

       Aktifitas tak bertanggung jawab lainnya juga berkontribusi pada kebakaran lahan sehingga tak bisa dipungkiri ada benarnya tagline “Riau dibakar bukan terbakar”.

       Situasi lingkungan dan iklim yang sulit tahun 2019 ini sesungguhnya sudah diprediksi. Merujuk pada rilis https://nationalgeographic.grid.id tanggal 11 Desember 2018 menjelaskan bahwa menurut para ilmuwan, 2019 akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah manusia. Rilis berita pada https://sains.kompas.com tanggal 20 Agustus 2019 menjelaskan bahwa BMKG sudah memprediksi terlambatnya musim hujan tahun 2019 ini. Salah satu Faktor yang mempengaruhi adalah Indian Ocean Dipole (IOD). IOD wilayah Indonesia menunjukkan nilai positif yang artinya Indonesia masih akan mengalami musim panas kemungkinan hingga akhir tahun 2019. Selanjutnya suhu muka laut di Indonesia masih dingin hingga Oktober 2019 sehingga penguapan yang berpotensi bagi pertumbuhan awan-awan hujan masih kurang hingga oktober 2019.

       Mencermati prediksi Iklim tersebut, untuk memadamkan api saat ini diperlukan rekayasa teknologi untuk memunculkan hujan dan patroli pengawasan yang intensif agar tidak muncul atau terjadi lagi potensi api yang menimbulkan kebakaran. Secara alamiah berdasarkan prediksi iklim, sulit terjadinya hujan yang cukup untuk memadamkan api dan membersihkan udara dari kabut asap. Hujan sebagai sumber air sangat potensial dan efektif membersihkan udara. Faktanya hujan yang terjadi pada dini hari Sabtu tanggal 14 September 2019 di Kota Pekanbaru mampu menurunkan kualitas udara yang semula katagori “Berbahaya” dan “Sangat Tidak Sehat” menjadi “Tidak Sehat”.

      Kepada Pemimpinlah rakyat mengadu dan memintakan pertanggung jawaban dari janjinya yang dituangkan sebagai program kerja yang harus dibuktikan dengan kerja nyata. Dalam hal bernegara, ada batasan kewenangan Pemerintah daerah baik Kabupetan/Kota maupun Propinsi. Pada situasi itu Negara dalam hal ini Pemerintah harus hadir dan bertanggung jawab sesuai amanah konstitusi pada Pembukaan UUD 1945 pada alenia IV “...suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia...”, mengoptimalkan segenap potensi dan kewenangan yang ada untuk menyelamatkan negeri dan masyarakat Riau dari derita kabut asap ini. Oleh karena itu situasi saat ini yang juga diwarnai beberapa aksi dari elemen masyarakat khususnya mahasiswa jangan dterjemahkan semata secara politis atau kepentingan politis. Namun pahami sebagai ceritan aspirasi rakyat kepada pemimpinnya.

      Fakta di lapangan kebakaran tidak hanya didominasi pada lahan-lahan Konsesi Kooperasi baik Perkebunan maupun Kehutanan, namun juga terjadi pada lahan yang dibawah penguasaan negara bahkan tak sedikit juga di lahan milik masyarakat. Oleh karena itu, kecermatan mengelola informasi sangat diperlukan. Publik jangan larut dalam opini yang tak sepenuhnya benar sesuai realita bahkan berita hoax yang baik disengaja atau tidak tersebar ke publik. Dinamikan tersebut dapat memimbulkan pertelagahan ditengah masyarakat dan memperburuk situasi.

     Sebagai umat beragama tentu kita meyakini, usaha tanpa doa tentunya akan menjadi tidak bermakna. Perlu menjadi ikhtibar bagi kita semua, apa yang terjadi ini bukan tidak mungkin merupakan azab Allah kepada kita dan negeri ini akibat kezaliman kita terhadap alam dan kesombongan kita yang paling berjasa atau paling berbuat. Maka pada dimensi tersebut diperlukan pertaubatan kita semua agar Allah mencabut azabnya. Ibadah dan doa dari semua umat beragama perlu dijalankan mengharapkan pertolongan Allah menurunkan hujan dan menyelamatkan negeri ini dari penderitaan dan korban kabut asap. 

     Sejalan itu diperlukan kesabaran dan “imsyak” kita menahan diri untuk tidak saling menghujat dan berdebat melempar tanggung jawab ditengah derita di depan mata. Ini saatnya bersatu bersinergis berkolaborasi bukan berkompetisi berpecah belah yang hanya akan memperburuk situasi. Para pihak sudah bekerja optimal untuk memadamkan api. TNI, POLRI, Damkar, BPPD, Manggala Agni, dan pihak-pihak lain telah dan sedang berjibaku mempertaruhkan kesehatan, keselamatan dirinya, meninggalkan keluarga dan sahabatnya demi berjuang memadamkan api untuk kebaikan dan kenyaman kita semua. Apresiasi dan doa terbaik yang harus kita dedikasikan.

  Pengendalian dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan terbukti bukanlah pekerjaan sederhana. Sangat dibutuhkan kolaborasi banyak pihak dengan pendekatan multiperspektif. Evaluasi terhadap program dan kebijakan yang telah dijalankan mutlak harus dilakukan. Tak ada kerja yang sempurna dari manusia, maka evaluasi untuk perbaikan harus dilakukan. Untuk jangka panjang langkah strategis untuk meminimalisir terjadinya kebakaran lahan antara lain:
Negara menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat. 
     Kejelasan dan kepastian penguasaan lahan yang bertanggung jawab terhadap lahan sehingga proses penegakan hukum bisa optimal dan tepat sasaran.
Setiap lahan harus dikelola secara produktif dan lestari. Pengelolaan lahan merupakan bagian dari upaya pemantauan dan pencegahan dini kebakaran. 
Edukasi dan sosialisasi publik untuk menanamkan pemahaman pentingnya menjaga kelestarian alam dan buruknya dampak kebakaran khususnya kabut asap. Mejaga alam sebagai sebuah kebutuhan bukan keharusan.
Iktibar diri, berbaik sangka saling menghormati yang utama tidak berbuat zalim kepada alam sehingga laknat dan azab Allah tidak diturunkan di negeri ini.        Dengan ibadah dan doa yang tulus ikhlas berharap Allah senantiasa melindungi dan melimpahkan nikmat serta berkahNya untuk negeri ini.

Di tengah gelapnya kabut asap, kita mesti cermat memandang persoalan dan situasi agar tak latah dalam bersikap dan merumuskan kebijakan. Sudah tidak zamannya berkompetisi namun waktunya berkolaborasi. Jangan jadikan kabut asap sebagai panggung menari diatas perderitaan masyarakat.

Oleh: M.Mardhiansyah
Penulis adalah anak jati Riau dosen fak Pertanian Universitas Riau