Melihat Kemiskinan Dengan Sudut Pandang Multidimensi

Jumat, 13 September 2019

kemiskinan di riau salah satu kabupaten kota, dimana truk truk pengangkut BBM

Kemiskinan Definisi dan Konsep

Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Beberapa pendapat ahli seperti Ritonga (2003:1) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak bagi kehidupannya.  Sedangkan beberapa ahli lainnya memandang bahwa kemiskinan justru bersifat multidimensional, artinya banyak faktor yang menyebabkan  sesorang menjadi miskin.

BPS mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu, pengangguran dan rendahnya penghasilan menjadi pertimbangan untuk penentuan kriteria tersebut. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.

Penyebab-Penyebab Kemiskinan

Michael. P Todaro (1997) dalam buku Economic Development menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.

Namun dalam tulisan ini,  saya ingin mengelompokan penyebab kemiskinan di Indonesia kepada tiga kategori besar yaitu:

 Pertama, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Alfian, Mely G. Tan, Selo Sumardjan). Dalam sebuah diskusi di kampus saya, terungkap bahwa kemiskinan struktural tercipta dari kebijakan pemerintah yang menguntungkan pihak tertentu dan menampikan pihak lain sehingga mereka terjebak dalam kemiskinan karna tidak memiliki kemampuan/akses untuk mengelola sumber daya disekitar mereka. Hal ini diperparah dengan pembiaran (dipelihara) oleh kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan kaum kapitalis. 

Kedua, kemiskinan kultural jenis kemiskinan ini lebih dipengaruhi oleh budaya yang tercipta dalam masyarakat. Kemudahan yang diberikan oleh lingkungan/alam sekitar tanpa disadari membentuk budaya tertentu pada masyarakat atau bisa saja nilai-nilai yang ditanamkan oleh penjajah hingga menyebabkan budaya malas dan tidak kompetitif. Kemiskinan kultural dapat diilustrasikan dengan perbedaan antara nelayan Cina yang akan mencari cara untuk mendapatkan hasil laut sebanyak-banyaknya dan menyiapkan es di kapalnya, sedangkan nelayan “Melayu” akan mencari ikan secukupnya di sekitar pantai untuk pemenuhan kebutuhannya dan selebihnya dijualnya dipasar kemudian waktunya akan dihabiskan dengan berbual di warung kopi.

Ketiga, kemiskinan akibat turunan/nasib, mungkin pernyataan ini akan mengundang sedikit kontroversi dan berkesan kurang ilmiah namun tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua yang miskin akan cenderung menurunkan kemiskinan pada anaknya, hal ini dimungkinkan akibat ketidakmampuannya untuk memberikan kebutuhan dasar yang cukup seperti sandang, pangan (gizi) hingga pendidikan. Kondisi ini menyebabkan si anak akan cenderung terkalahkan dalam kompetisi memperebutkan sumberdaya.

Profil Kemiskinan Provinsi Riau dan Urgensi Pengentasannya

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Riau pada Bulan September 2018 sebanyak 494,26 ribu jiwa. Terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan kondisi September 2017 sebesar 2,13 ribu jiwa.

Tingginya tingkat imigrasi ke provinsi Riau terutama dari provinsi tetangga Sumatera Utara dan Sumatera Barat menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup pesat, banyaknya pendatang dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian dapat menyebabkan bertambahnya pengangguran, sejalan dengan hal tersebut intrusi penduduk akan menyebabkan persaingan terhadap sumber daya alam, faktor-faktor tersebut pada akhirnya juga akan memperparah tingkat kemiskinan di Provinsi Riau.

 

 

 

 

 

 

 

Grafik. 1  Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin  di  Provinsi Riau Tahun 2010-2018

Sumber: BPS, data diolah

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin terbesar yang sebelumnya ada di kabupaten Kampar, saat ini telah digeser oleh Kabupaten Rokan Hulu dengan jumlah 69.240 jiwa, namun demikian kab Kampar tetap menempati peringkat kedua sejumlah 66.330 jiwa mengingat jumlah penduduk yang cukup besar di kabupaten Kampar.

 

                  Grafik. 2 Penyebaran Penduduk Miskin Provinsi Riau Tahun 2017 (Ribu jiwa)

 

    

            Sumber: BPS, data diolah

 

Jika diihat dari tingkat kemiskinan yaitu dengan membandingkan persentasi penduduk miskin terhadap jumlah penduduk maka kabupaten Kepulauan Meranti adalah adalah kabupaten dengan tingkat kemiskinan terparah yaitu 28,99% jauh diatas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi Riau yaitu 7,7%. Berikut ditampilkan grafik tingkat kemiskinan di Provinsi Riau.

                

                

 

 

                 Grafik. 3 Tingkat Kemiskinan di  Provinsi Riau Tahun 2017 (%)

Sumber: BPS, data diolah

                        Dinamika perkembangan penduduk miskin di Provinsi Riau sangat dipengaruhi beberapa faktor antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat perpindahan penduduk baik emigrasi maupun imigrasi. Inflasi sangat terkait dengan garis kemiskinan, hal ini disebabkan pengaruh kenaikan harga barang dan kemampuan daya beli masyarakat.  Sejalan dengan hal tersebut garis kemiskinan provinsi Riau meningkat tiap tahunnya, pada September 2018 sebesarRp. 487.146,- per kapita per bulan, meningkat 4,72 persen dari September 2017 yang sebesar Rp.465.181,- per kapita per bulan. Grafik dibawah menggambarkan perkembangan garis kemiskinan provinsi Riau.

                  Grafik. 4  Perkembangan Garis Kemiskinan  Provinsi Riau

               Pertumbuhan ekonomi tidak akan selalu mengurangi kemiskinan atau kekurangan lainnya. Beberapa penelitian telah sering kali menemukan bahwa adanya pertumbuhan ekonomi namun kejadian kekurangan gizi anak atau kematian anak masih juga terjadi. Hal ini dimungkinkan mengingat ketidakmerataan pendapatan maupun kesejangan yang terjadi. Memahami hal tersebut SDGs mengemukakan prinsip no one left behind  atau tidak ada satupun yang tertinggal dibelakang, sehingga dengan perlibatan pihak-pihak dalam pembangunan diharapkan kesenjangan dapat dikurangi. Grafik berikut menggambarkan perkembangan kesenjangan di Provinsi Riau yang diukur berdasarkan Gini Ratio.

             Grafik. 5  Perkembangan Gini Ratio di Provinsi Riau

 
 

 

 

                      Sumber: BPS, data diolah

 

Pendekatan Kemiskinan Multi Dimensi (MPA) Dalam Pengentasan Kemiskinan Provinsi Riau

 

               Multidimension Poverty Approach (MPA) adalah pendekatan yang memandang kemiskinan yang dilihat dari beberapa dimensi seperti kondisi kesehatan yang buruk, kurangnya pendidikan, standar hidup yang tidak memadai, kurangnya pendapatan, ketidakberdayaan, kualitas kerja yang buruk dan ancaman dari kekerasan. Pendekatan multidimensional dapat menggabungkan berbagai indikator untuk menangkap kompleksitas kemiskinan, dengan demikian maka kebijakan pengentasan kemiskinan dapat dikeluarkan dengan lebih baik.

               Dengan menggunakan pendekatan MPA, maka kita dapat memasukan ukuran kemiskinan multidimensi sebagai rangkaian indikator yang menangkap kompleksitas fenomena ini untuk menginformasikan kebijakan yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan kekurangan di suatu negara. Bergantung pada konteks suatu negara dan tujuan pengukuran, berbagai indikator dapat dipilih untuk mencerminkan kebutuhan dan prioritas suatu negara, serta daerah, kabupaten, provinsi, dan konstituennya.

Pendekatan kemiskinan multi dimensi melihat kemiskinan dalam dimensi yang terintegrasi dengan menggunakan 3 dimensi (pendidikan; kesehatan; dan kualitas hidup) dan menggunakan 10 indikator dalam melihat kondisi penduduk miskin, sepuluh indikator tersebut adalah lama sekolah; Kehadiran dalam pendidikan; gizi; kematian bayi; bahan bakar untuk memasak; sanitasi;  air bersih; listrik; kondisi lantai rumah; dan kepemilikan asset. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada ilustrasi grafik berikut;

           

 

 

 Grafik. 4  Pendekatan Kemiskinan  Multidimensi


Sumber: Sri Endang Cornita, Paparan Workshop Penyusunan Kerangka Kerja Percepatan SDGs Bidang Kemiskinan Provinsi Riau Tahun 2018

 

Selanjutnya pemerintah juga dapat melakukan pemetaan dan perbandingan antar jumlah penduduk miskin di desa dengan di kota. Tingginya angka kemiskinan di desa disebabkan antara lain, rendahnya tingkat pendidikan,  ketiadaan kepemilikan lahan pertanian dan banyaknya anak dalam satu keluarga.  Berbeda dengan pedesaan kemiskinan di perkotaan lebih disebabkan oleh sempitnya lowongan kerja dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian pemerintah perlu mempertimbangkan arah dan strategi penanggulangan kemiskinan baik di desa maupun di perkotaan, mengingat hal ini membutuhkan dua pendekatan yang berbeda. Perlu juga dipahami bahwa kemiskinan adalah sesuatu hal yang bersifat multi dimensi, untuk itu diperlukan strategi dan kebijakan yang holistik multi sektor untuk penaggulangan kemiskinan tersebut.

Pengentasan kemiskinan harus menggunakan strategi, arah kebijakan dan program yang tepat tidak hanya berorentasi material dan bersifat sektoral.  Pengentasan kemiskinan harus melibatkan berbagai peran stakeholder dan dilakukan secara sinergi bukan sporadis, serta menjawab permasalahan penyebab kemiskinan itu sendiri. Adanya campur tangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diharapkan dapat mempercepat penanggulangan kemiskinan mengingat permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan dasar dalam kehidupan masyarakat.

 

Konklusi

Pada tahap awal permasalahan pengentasan kemiskinan provinsi Riau adalah bagaimana mengidentifikasi kemiskinan itu sendiri, sehingga adanya persamaan persepsi mengenai definsi kemiskinan, faktor determinan dan langkah-langkah penanggulangannya. Identifikasi dan persamaan persepsi ini penting mengingat ini adalah kunci keberhasilan dari program kemiskinan. Upaya sporadis yang dilakukan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan akan lebih efektif dan efisien jika semua pihak dapat bersinergi dalam arah dan langkah penanggulangan kemiskinan itu sendiri, sehingga target yang dituju akan lebih tepat sasaran. 

Pendekatan kemiskinan multi dimensi (MPA) dapat membantu mendifinisikan kemiskinan itu sendiri secara lebih konprehensif sehingga langkah-langkah yang diambil  untuk penngulangan kemiskinan itu sendiri lebih menyeluruh dan intregatif. Disisi lain SDGs telah mentapkan indikator-indikator capaian yang lebih holistik dan komprehensif, sehingga dengan mengintegrasikanya dengan MPA diharapkan rekomendasi terhadap penanggulangan kemiskinan tersebut lebih tepat sasaran dan terukur. Ketersedian penyediaan pelayanan publik seperti fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan air bersih,  pelayanan perumahan dan pelayanan administrasi umum merupakan indikator-indikator utama dalam SDGs yang menjadi kewajiban bagi stakeholder (pemerintah dan non pemerintah) untuk mewujudkannya.

Penulis:Hasan Warso Syahputra, S.IP

Fungsional Perencana Muda, Bappeda Provinsi Riau