Menakar Daya Hunting Pakar Riau dalam Asap

Jumat, 30 Oktober 2015

Ilustrasi Internet

SUDAH hampir tiga bulan lebih kita masyarakat Riau dikepung asap. Hari-hari hirupan kita terasa tak sedap, pakaian, kendaraan bahkan ruang ruang di rumah kita pun sudah berbau asap. Laporan yang muncul di sejumlah media menyebutkan kerugian materi akibat kabut asap sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Masyarakat yang korban terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) mendekati angka ratusan ribu orang. Bahkan ada yang sampai meninggal dunia.  

Berbulan-bulan pelajar diliburkan. Pemerintah terpaksa menempuh jalan itu, demi mengurangi risiko asap yang begitu tebal bagi kesehatan anak. Walaupun kebijakan itu rasanya agak kurang tepat. Sebab di rumah anak-anak juga tak dapat menghindar dari terpaan asap. Jika kita perhatikan, pemerintah sudah cukup maksimal melakukan upaya penanggulangan. Puluhan ribu tentara diturunkan. Ratusan ton garam ditabur. Belasan  helikopter dikerahkan untuk mengangkut air dan garam.

 Di tengah kelabut asap itu pula, berbagai skenario pencegahan kebakaran lahan silih berganti dilontarkan. Ada saran pelarangan penggarapan lahan. Ada usulan  pencabutan izin perkebunan, dan ada pula anjuran untuk membuat  kanal, menanam  gaharu di lahan gambut dan berbagai usulan lainnya. Sebagai sebuah wacana, itu sah-sah saja. Tapi apakah memang wacana yang muncul itu benar-benar sesuai dengan kenyataan dan kondisi alam yang ada. Apakah solusi yang ditawarkan itu benar-benar solusi atau jangan-jangan malah menimbulkan masalah yang lain lagi? Kemudian, apa semua hamparan yang terbakar itu memiliki karakteristik lahan yang sama?

 Pertanyaan tersebut wajar bermunculan. Kita patut dan perlu berpikir ulang, jangan-jangan wacana yang terlontar hanya bermuara dari pikiran yang  sepenggal-sepenggal. Tidak matang dan mungkin lebih disebabkan terjebak oleh kondisi panik. Sebelum wacana itu direalisasikan, menurut saya agaknya inilah persoalan yang menarik untuk didiskusikan ulang. Terutama tentunya oleh berbagai kalangan para pakar yang berada di balik perguruan tinggi di Riau. Jika para pakar, baik itu dari disiplin ilmu, pertanian, kehutanan, pertanahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan yang ada di lembaga perguruan tinggi di Riau berkumpul --dan mereka misalnya turun ke seluruh areal kebakaran mungkin alternatif penyelesaian asap ini akan lebih baik dan akan lebih berdampak dalam jangka panjang.

 Sayangnya, daya hunting kalangan intelektual kita di Riau untuk mencari tahu dengan baik persoalan penyebab dan solusi kebakaran serta asap ini masih agak lemah. Mohon maaf jika saya keliru. Sebab, kesan yang saya tangkap, kegelisahan para intelektual dan pakar kita terhadap persoalan asap yang menimpa masyarakat Riau ini hampir tidak ada. Kalangan pakar kita baru sebatas mengeluarkan pendapat hanya untuk menjawab  pertanyaan kalangan media massa. Saya belum menemukan --atau mungkin saya yang kurang menyimak informasi--  bahwa misalnya kalangan pakar di Riau berkumpul membentuk sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu untuk mengambil inisiatif melakukan penelitian atau apalah namanya dalam rangka menemukan sesungguhnya persoalan yang menyebabkan munculnya asap dari tahun ke tahun.

 Sebagai masyarakat awam, saya sangat menginginkan wacana itu muncul dari kalangan akademisi kita. Saya juga membayangkan kalangan akademisi Riau melakukan paparan dengan pertanggungjawaban intelektual yang benar-benar dapat diuji dihadapan pemerintah baik daerah maupun pusat. Saya akan lebih berbangga hati dan hormat, jika sekiranya sumbangan pemikiran kalangan intelektual kita dapat pula menjadi acuan bagi untuk kebijakan pemerintah dalam mengambil keputusan terhadap persoalan hutan dan lingkungan yang ada di Riau. Tapi sayangnya, lamanya gumpalan asap menyelimuti Riau, dengan berbagai dampak negatif yang disebabkan, masih belum mampu menggelisahkan pemikiran kalangan akademik kita untuk menarik mereka ke lapangan guna mencari tahu secara keilmuan tentang apa sesungguhnya yang terjadi.

Kita tahu, jika dilihat dari sisi tanggung jawab, hampir 90 persen persoalan kebakaran lahan menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu pula, dapat kita duga bahwa pemerintahan pusat melalui departemen terkait  tentulah bekerja keras mencarikan solusi dengan melibatkan berbagai pakar yang mereka miliki. Tetapi alangkah baiknya jika para pakar yang ada di Riau dengan kesungguhan yang tinggi menyumbangkan kemampuan intelektualnya pula. Saya menduga  kebakaran lahan dari tahun ke tahun bukanlah terjadi begitu saja, namun sudah tentu ada  gelombang peristiwa dalam pemanfaatan lahan yang mungkin kurang arif, sehingga pekerjaan akhirnya adalah membakar. Ada juga kemungkinan akibat desakan lain yang sifatnya non materi sehingga masyarakat gegabah dalam pemanfaatan lahan. Dalam hal ini, sudah tentu pakar-pakar dari Riau akan lebih mudah melakukan identifikasi. Sebab hampir sebagian besar perilaku sosial masyarakat mereka ketahui dengan baik.

Demam Sawit
Adanya perilaku tiru meniru di tengah masyarakat menyangkut upaya mempertahankan, menambah sumber keuangan melalui sektor perkebunan terutama tanaman sawit dan upaya membangun ekonomi keluarga dalam jangka panjang, merupakan titik awal dalam penyimpangan penggunaan lahan. Hanya dengan bermodal pengetahuan pas-pasan, sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pinggir lahan kosong memulai membangun kebun, terutama kebun sawit. Apakah benar lahan itu cocok dengan jenis tanam sawit? Apakah ongkos yang dikeluarkan sesuai dengan kemungkinan hasil yang akan di dapat?  Apa mereka benar-benar sanggup untuk mengurus, membersihkan, memupuk  dalam waktu panjang? Sementara mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Semua itu tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bahwa “saya harus punya kebun’’, titik.

Setelah proses dimulai, dan dalam perjalanan waktu akhirnya apa yang mereka bayangkan sudah tidak cocok dengan kenyataan. Akibat yang timbul adalah lahan terbengkalai, kebun menjadi semak belukar yang berpotensi untuk terbakar. Demam sawit seakan sudah merasuki semangat masyarakat di seluruh daerah. Tidak peduli mereka yang tinggal di pulau-pulau seperti Bengkalis, Selatpanjang, Rangsang, Pulau Mendul dan  kawasan-kawasan berhutan gambut lainnya yang ada di Riau. Mereka beramai-ramai menggarap lahan, sementara pada kenyataannya kondisi lahan itu kurang cocok untuk ditanami sawit.
 Regulasi Pemanfaatan Lahan Rakyat

Keinginan pemerintah dalam hal pencegahan kebakaran menurut hemat saya hingga saat ini belumlah terlalu kuat. Kita baru sebatas ribut-ribut ketika bencaha asap itu terjadi. Begitu bencana asap hilang, semua pihak mulai melupakannya. Bukan saja tentang asap tetapi juga tentang langkah-langkah pencegahan yang dulunya mereka kemukakan. Jika kita ingin mencegah terjadinya kebakaran secara meluas dari tahun ke tahun, maka salah satu langkah yang perlu diperhatikan yakni adanya regulasi tentang pemanfaatan lahan masyarakat. Terutama dalam menentukan pilihan tanaman perkebunan yang mereka tanami.

 Regulasi itu tentulah bukan hanya sebatas larangan begitu saja. Akan tetapi juga harus diawali  dari hasil kajian tentang lahan itu sendiri. Dengan demikian, pemerintah dapat pula menawarkan solusi terhadap tanaman apa saja yang pantas untuk ditanami di daerah tersebut. Barangkali disinilah peran yang sebaiknya diberikan oleh pemerintah, terutama kepada instansi terkait agar masyarakat tidak dibiarkan terjebak dalam ketidakmengertian mereka. Instansi seperti pertanian, perkebunan sebaiknya jangan hanya berbicara soal pengadaan bibit dan pupuk saja. Namun perlu pula mereka memberikan bimbingan dan pengetahuan tentang lahan dan vegetasinya. Mngkin dengan program pengecekan lahan dari sisi mineralnya.

 Perilaku masyarakat yang suka ikut-ikutan dalam memilih tanaman untuk dijadikan kebun memang tidak sampai merugikan pemerintah. Hanya saja sebagai pihak yang bertugas selaku pembina, pemerintah juga sangat keterlaluan jika membiarkan masyarakatnya sesat dalam ketidaktahuannya itu. Terutama dalam ikhtiar mereka memperbaiki ekonomi dari sektor perkebunan dan pertanian. Dalam kaitan ini, maka menurut hemat saya kepedulian dan keterlibatan kalangan pakar dari perguruan tinggi sangat diperlukan terutama untuk mencari tahu benar persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat terutama menyakut dengan penggunaan lahan.

 Dengan lahirnya kajian yang baik, yang benar-benar berkualitas maka akan sangat membantu baik masyarakat, pemerintah dalam melahirkan kebijakan tentang pemanfaatan lahan. Asap adalah akibat. Ada berbagai kemungkinan dari akibat tersebut. Apapun penyebabnya dan apa pun upaya yang akan kita lakukan, yang pasti itu hendaknya dilakukan dengan kajian dan pertimbangan yang sungguh-sungguh dan holistik. Bukan hanya berdasarkan pikiran-pikiran sesaat dengan pertimbangan yang tidak lengkap. ***  (Catatan Kritis Fahrullazi, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan)