Fahri Minta Jokowi Buat Keputusan Radikal Koreksi KPK

Senin, 10 September 2018

JAKARTA - riautribune : Ada titipan khusus yang dipesan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kepada Presiden Joko Widodo yang bertolak ke Korea Selatan, Minggu (9/9).
 

Fahri meminta kepada Jokowi untuk mempelajari sejarah pemberantasan korupsi di Korsel, khususnya sejarah Korean Independent Commision Against Corruption (KICAC) yang berganti menjadi Anti Corruption and Human Right Commision (ACRC).

“ACRC adalah gabungan banyak lembaga, termasuk Ombudsman. Hanya di Indonesia, darurat korupsi hanya menjadi kesibukan satu lembaga,’ jelasnya di akun Twitter pribadinya.

Menurutnya, Jokowi tidak boleh terlalu lama membiarkan negara dalam keadaan “darurat korupsi”, seperti yang dituduhkan selama ini. Sebab pembiaran itu bisa membuat Jokowi gagal dalam memberantas korupsi. “Presiden akan ditagih rakyat. Maka sekarang ambillah keputusan yang radikal,” imbaunya.

Fahri menilai bahwa pemberantasan korupsi di Korea Selatan merupakan yang paling baik untuk dicontoh. Apalagi, pembubaran KICAC menjadi ACRC adalah karena ekonomi yang terganggu. “Manuver KICAC bikin rusak iklim usaha dan kebebasan sipil. Maka anti korupsi digabung dengan HAM,” jelasnya.

Hal ini tentu sama dengan yang dialami Indonesia saat ini. Tidak ada koordinasi antar lembaga dalam penangan korupsi. Bahkan Fahri menyebut ada lembaga yang sibuk sendiri, sementara lainnya  menonton dan menghindar. “Akhirnya sejak 2002, persis sama dengan tahun berdirinya KICAC di Indonesia berkembang suasana tidak pasti,” sambungnya.

Selama lebih dari 16 tahun, UU 30/2002 tentan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah direvisi. Usulan revisi selalu mendapat tentangan baik dari masyarakat maupun lembaga KPK.

“Usulan amandemen bak mau mengubah kitab suci. Demonstrasi dikerahkan dan ancaman dilayangkan ‘koruptor menyerang balik’. Jadilah ia lembaga suci yang tidak boleh diganggu gugat,” jelas Fahri.

Indonesia kini tengah mengalami pelambatan ekonomi. Pemerintah telah mencabut sejumlah subsidi bagi rakya dan mengandalkan utang luar negeri. “Proyek dikerjain sendiri dan BUMN disuruh ngutang bunga tinggi. Nanti BUMN bisa-bisa dijual ke luar negeri. Ini semua karena ketidakpastian hukum,” sambungnya.

“Sambil Pak Jokowi berpikir, teken saja kerjasama dan ikut saja pola Korea Selatan. Nggak usah malu untuk kebaikan negeri. Lihat Korsel itu, industri hidup, kelas menengah tumbuh. Kita merdeka bareng, bikin KPK bareng tapi hasil lain. Kenapa? Karena mereka mau koreksi,” tukasnya. (rmol)